Produsen air minum dalam kemasan (AMDK) berpotensi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada karyawan imbas penerbitan Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah. SE itu salah satunya tak memperbolehkan produksi AMDK berkemasan plastik di bawah satu liter.
Direktur Utama (Dirut) CV Tirta Taman Bali, I Gde Wiradhitya Samuhata, mengatakan terdapat 18 pabrik AMDK di Pulau Dewata. Menurutnya, jika aturan itu diterapkan, kemungkinan hanya dua pabrik AMDK yang akan bertahan.
“Kalau Pak Gubernur mau menerapkan ini secara ketat, kami khawatir dari 18 pabrik itu, cuma dua pabrik yang akan bertahan,” kata Wiradhitya dalam keterangan tertulis yang diterima infoBali, Kamis (19/6/2025).
Wiradhitya menuturkan, sesuai data Perkumpulan Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN), sebanyak 16 pabrik AMDK di Bali bergantung pada penjualan air kemasan di bawah satu liter. Artinya, ratusan karyawan berpotensi terkena PHK akibat kebijakan tersebut.
“Kemarin ASPADIN bilang, dari 18 yang terdaftar, ada 16 yang bergantung di bawah satu liter. 16 (perusahaan) kali 90 (karyawan) paling tidak ya, itu pun di satu pabrik cuma satu sif,” ungkap Wiradhitya.
Wiradhitya menyayangkan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali yang terkesan tidak adil. Sebab, kebijakan itu tidak mengatur peredaran kemasan minuman bersoda, kemasan saset, dan jenis plastik lainnya. Padahal, lanjut Wiradhitya, kemasan saset merupakan salah satu penyumbang sampah terbanyak di Bali, apalagi tidak terkelola dengan baik.
Dirut produsen AMDK merek Nonmin ini mengungkapkan Gubernur Bali Wayan Koster telah mengumpulkan para produsen AMDK soal kebijakan larangan produksi di bawah satu liter. Menurut Wiradhitya, pertemuan itu tidak membahas kemasan saset. “Padahal sampah saset paling banyak,” sambungnya.
Koster, terang Wiradhitya, hanya membahas permasalahan pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga saat mengumpulkan para produsen AMDK, bukan persoalan produsen maupun distributor.
“Di situ dari awal itu pure masalahnya itu dari sampahnya sendiri. Artinya, dari tangan rumah tangga atau konsumen yang menjadi sampah. Sampai di tempat pembuangan akhir penanganannya itu sudah bermasalah,” jelas Wiradhitya.
Koster, terang Wiradhitya, memaparkan pengelolaan sampah baru sekitar 42 persen. Wiradhitya berpendapat pemerintah seharusnya meningkatkan efektivitas pengelolaan sampah dari sumbernya terlebih dahulu.
“Kalau (efektivitas pengelolaan sampah) sudah mencapai 70 persen, namun persoalan sampah ini masih timbul, nah itu sah-sah saja pemerintah langsung lompat ke produsennya. Tetapi, ini masih 42 persen, terus tiba-tiba muncul slide larangan, saya juga kaget,” terang Wiradhitya.
Wiradhitya menilai kebijakan Koster melarang produksi air kemasan di bawah satu liter terlalu tergesa-gesa. Ia berharap kebijakan ini dapat dievaluasi dan dijalankan secara bertahap.