Penutupan total Gunung Rinjani secara mendadak membuat para penyedia jasa wisata kelimpungan. Pemandu wisata, porter, hingga sopir pengangkut wisatawan mengaku mengalami penurunan pendapatan yang signifikan.
Salah satunya Lukmanul Hakim (40), warga Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang sehari-hari bekerja sebagai pemandu wisata di Gunung Rinjani. Ia mengaku bingung setelah mendengar kabar penutupan gunung secara tiba-tiba. Selama ini, ia menggantungkan hidup dari pekerjaan sebagai pramuwisata untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Biasanya kan Gunung Rinjani tutup tiga bulan dalam setahun, dari penutupan ini kami sudah mengantisipasi, kami nabung dulu untuk biaya hidup selama tiga bulan, yang membuat kami pening itu penutupan secara tiba-tiba seperti sekarang ini,” ujar Lukman, ditemui infoBali, Jumat (25/7/2025).
Saat penutupan rutin, para guide dan porter biasanya bekerja sebagai kuli panggul hasil pertanian seperti sayuran demi mencukupi kebutuhan hidup.
“Apapun kami lakukan dan kerjakan supaya dapur di rumah tetap ngebul, atau ada juga sebagai buruh tani, tapi sekarang ini kan sedang tidak musimnya karena sedang musim kemarau,” terang Lukman.
Menurutnya, masyarakat setempat memang sangat bergantung pada aktivitas pendakian Gunung Rinjani. Karena tidak memiliki lahan pertanian, Lukman merasa kesulitan mencari pekerjaan alternatif.
Sebelum sektor wisata berkembang, masyarakat Sembalun banyak yang merantau ke luar daerah.
“Masyarakat disini dulu ada yang pergi ke Malaysia, ke Kalimantan untuk cari kerja, tapi kalau sekarang ini kan sudah ada pekerjaan dan cukup menghasilkan, makanya kami sudah tidak lagi pergi merantau,” tutur Lukman.
Dari satu kali trip sebagai pramuwisata, Lukman bisa mengantongi Rp 1,2 juta.
“Itu masih gaji saja, ada tradisi juga kadang tamu juga memberikan uang tip, kalau lagi hoki dan tamu puas dengan pelayanan bisa dapat lebih banyak dari itu kami dapat,” pungkasnya.
Hal senada diungkapkan Lalu Naswan (39), yang telah menjadi porter di Gunung Rinjani sejak duduk di bangku kelas 6 SD. Ia bertugas membawa logistik, mendirikan tenda, hingga menyiapkan makanan untuk para pendaki.
Lalu Naswan kaget mendengar informasi penutupan total Gunung Rinjani yang akan diberlakukan pada 1-10 Agustus 2025.
“Kalau kami dalam sehari di Gunung Rinjani dapetnya Rp 250 ribu. Dalam seminggu rata-rata naik tiga kali,” kata Lalu Naswan.
Penghasilan tersebut digunakan untuk menghidupi lima anaknya yang masih sekolah serta kedua orang tuanya.
“Untuk orang tua, anak saya ada 5 mereka masih sekolah semua, biasanya kalau balik dari gunung langsung saya kasih anak-anak untuk jajan, kalau ditutup begini ya mau gimana lagi,” keluhnya.
Karena tidak memiliki lahan sawah, Lalu Naswan mempertimbangkan untuk merantau ke Kalimantan dan bekerja di kebun sawit, sembari menunggu Gunung Rinjani kembali dibuka.
“Kami yang bekerja dari pariwisata kalau Gunung Rinjani ditutup mau makan apa, makanya kalau saya pergi merantau saja dulu,” imbuhnya.
Meski begitu, ia bersama sekitar 300 porter lainnya asal Sembalun tidak mempersoalkan penutupan gunung selama tujuannya jelas, seperti perbaikan jalur.
“Yang membuat kami ketar-ketir hari ini penutupan mendadak dan penutupan total ini, padahal kan yang diperbaiki hanya ke jalur Danau Segara Anak saja,” cetusnya.
Nasib serupa dialami Zohri (41), sopir pikap asal Sembalun yang setiap hari mengangkut wisatawan dan barang ke dan dari Gunung Rinjani. Para sopir seperti Zohri tidak bisa mengambil pekerjaan lain karena harus siap 24 jam menerima pesanan dari wisatawan.
“Kami murni secara profesional sebagai sopir yang mengantar wisatawan Gunung Rinjani, kalau sambil-sambilan tidak bisa karena kami harus siap jam berapapun ketika ada pesanan yang masuk harus siap,” jelas Zohri.
Saat ini, ada 23 mobil pikap yang aktif beroperasi di kawasan Gunung Rinjani. Tarif angkut bervariasi mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu per sekali perjalanan, tergantung rute dan jenis layanan.
“Kadang-kadang tamu ini ada yang borongan, kadang ada yang privat juga tapi tarifnya tetap sama,” terang Zohri.
Ia menyayangkan keputusan penutupan yang dilakukan secara tiba-tiba, apalagi ketika musim pendakian sedang ramai.
“Ramainya pengunjung biasanya pada musim-musim sekarang ini mendekati Bulan Agustus, musim libur lebaran, dan ketika tahun baru, kadang-kadang kalau musim libur di luar negeri ramai juga,” pungkasnya.
Menurut Zohri, jika penutupan dilakukan saat puncak kunjungan wisata seperti sekarang, para sopir tidak memiliki cukup waktu mempersiapkan tabungan untuk biaya hidup selama penutupan berlangsung.
Selain kebutuhan harian, para sopir juga harus memikirkan cicilan mobil pikap yang digunakan untuk usaha transportasi.
“Belum lagi mikirin cicilan, kami rata-rata disini ngambil mobil pikap itu kredit, kalau bayar kontan tentu kami tidak mampu untuk itu,” ungkap Zohri.
Penutupan mendadak Gunung Rinjani membuat pekerja seperti Lukman, Lalu Naswan, dan Zohri yang bergantung pada sektor wisata pendakian merasakan dampak ekonomi secara langsung.
Porter: Anak dan Orang Tua Harus Tetap Makan
Sopir Pikap Terhimpit Cicilan
Hal senada diungkapkan Lalu Naswan (39), yang telah menjadi porter di Gunung Rinjani sejak duduk di bangku kelas 6 SD. Ia bertugas membawa logistik, mendirikan tenda, hingga menyiapkan makanan untuk para pendaki.
Lalu Naswan kaget mendengar informasi penutupan total Gunung Rinjani yang akan diberlakukan pada 1-10 Agustus 2025.
“Kalau kami dalam sehari di Gunung Rinjani dapetnya Rp 250 ribu. Dalam seminggu rata-rata naik tiga kali,” kata Lalu Naswan.
Penghasilan tersebut digunakan untuk menghidupi lima anaknya yang masih sekolah serta kedua orang tuanya.
“Untuk orang tua, anak saya ada 5 mereka masih sekolah semua, biasanya kalau balik dari gunung langsung saya kasih anak-anak untuk jajan, kalau ditutup begini ya mau gimana lagi,” keluhnya.
Karena tidak memiliki lahan sawah, Lalu Naswan mempertimbangkan untuk merantau ke Kalimantan dan bekerja di kebun sawit, sembari menunggu Gunung Rinjani kembali dibuka.
“Kami yang bekerja dari pariwisata kalau Gunung Rinjani ditutup mau makan apa, makanya kalau saya pergi merantau saja dulu,” imbuhnya.
Meski begitu, ia bersama sekitar 300 porter lainnya asal Sembalun tidak mempersoalkan penutupan gunung selama tujuannya jelas, seperti perbaikan jalur.
“Yang membuat kami ketar-ketir hari ini penutupan mendadak dan penutupan total ini, padahal kan yang diperbaiki hanya ke jalur Danau Segara Anak saja,” cetusnya.
Porter: Anak dan Orang Tua Harus Tetap Makan
Nasib serupa dialami Zohri (41), sopir pikap asal Sembalun yang setiap hari mengangkut wisatawan dan barang ke dan dari Gunung Rinjani. Para sopir seperti Zohri tidak bisa mengambil pekerjaan lain karena harus siap 24 jam menerima pesanan dari wisatawan.
“Kami murni secara profesional sebagai sopir yang mengantar wisatawan Gunung Rinjani, kalau sambil-sambilan tidak bisa karena kami harus siap jam berapapun ketika ada pesanan yang masuk harus siap,” jelas Zohri.
Saat ini, ada 23 mobil pikap yang aktif beroperasi di kawasan Gunung Rinjani. Tarif angkut bervariasi mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 350 ribu per sekali perjalanan, tergantung rute dan jenis layanan.
“Kadang-kadang tamu ini ada yang borongan, kadang ada yang privat juga tapi tarifnya tetap sama,” terang Zohri.
Ia menyayangkan keputusan penutupan yang dilakukan secara tiba-tiba, apalagi ketika musim pendakian sedang ramai.
“Ramainya pengunjung biasanya pada musim-musim sekarang ini mendekati Bulan Agustus, musim libur lebaran, dan ketika tahun baru, kadang-kadang kalau musim libur di luar negeri ramai juga,” pungkasnya.
Menurut Zohri, jika penutupan dilakukan saat puncak kunjungan wisata seperti sekarang, para sopir tidak memiliki cukup waktu mempersiapkan tabungan untuk biaya hidup selama penutupan berlangsung.
Selain kebutuhan harian, para sopir juga harus memikirkan cicilan mobil pikap yang digunakan untuk usaha transportasi.
“Belum lagi mikirin cicilan, kami rata-rata disini ngambil mobil pikap itu kredit, kalau bayar kontan tentu kami tidak mampu untuk itu,” ungkap Zohri.
Penutupan mendadak Gunung Rinjani membuat pekerja seperti Lukman, Lalu Naswan, dan Zohri yang bergantung pada sektor wisata pendakian merasakan dampak ekonomi secara langsung.