Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Tengah menuding ada permainan pada seleksi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) tingkat provinsi untuk mengikuti tes nasional untuk Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 RI. Anehnya, peserta yang lolos dalam seleksi adalah siswa yang tidak memenuhi syarat saat tahap tes Pancasila dan wawasan kebangsaan atau passing grade.
“Jadi yang lulus passing grade pada waktu itu ada dua yang putra dan sembilan yang putri. Yang dua itu dari Dompu satu dan Lombok Tengah satu,” kata Kepala Bidang (Kabid) Ideologi dan Wawasan Kebangsaan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Lombok Tengah, Fero Ramdoni, di Praya, Senin (2/6/2025).
Menurut Fero, Bakesbangpol Lombok Tengah melihat ada kejanggalan dalam proses seleksi Paskibraka di NTB. Salah satunya, ketika panitia provinsi meloloskan dua orang, yaitu Arafat Abdullah Hanif asal Mataram dan Fadoli Saptahadi Khairi dari Sumbawa yang tidak memenuhi syarat pada passing grade. Sedangkan Muhammad Aqashah Arya Nugrah asal Dompu dan Kevin Bayu Pratama dari Lombok Tengah yang lolos pada tes Pancasila dan wawasan kebangsaan malah dijadikan cadangan.
“Seharusnya kalau kita berpikir secara logika, yang dua passing grade itu harus dikunci. Kemudian, yang tambahan itu seharusnya diambil dari yang tidak lolos tadi. Tetapi kan sekarang ini malah yang dikirim ke nasional itu yang peringkat satu yang dari Sumbawa, peringkat dua itu dari Mataram, ketiga Dompu dan keempat itu Lombok Tengah,” terang Fero.
Fero juga telah melayangkan surat keberatan dengan kop Bupati Lombok Tengah dengan Nomor 200.01.02167 /BKBP/2025, tertanggal 22 Mei 2025 yang ditandatangani oleh Wakil Bupati Lombok Tengah, HM Nursiah. Surat itu ditujukan kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Surat itu dilayangkan setelah Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri (Kaban Kesbangpoldagri) NTB menerbitkan surat dengan nomor 910/161N/BKBPDN/2025 tanggal 19 Mei 2025 perihal Pemanggilan Medical Check Up yang memuat daftar peserta terpilih untuk mengikuti verifikasi tingkat pusat dan cadangan.
Fero menilai terdapat sejumlah pelanggaran prinsip objektivitas dan integritas dalam proses seleksi, yakni peserta yang tidak memenuhi passing grade tetap diluluskan.
“Berdasarkan hasil pemantauan, terdapat peserta yang tidak mencapai nilai minimum (passing grade) 70 pada tes Pancasila dan wawasan kebangsaan. Namun, tetap dinyatakan lulus untuk mewakili NTB ke tingkat nasional. Padahal, sesuai regulasi nasional, nilai tersebut merupakan syarat mutlak kelulusan,” beber Fero.
Menurut Fero, ada yang lebih aneh lagi, yaitu panitia seleksi tingkat provinsi justru memberikan kesempatan tes ulang kepada peserta asal Sumbawa Barat dan Mataram yang sebelumnya gugur pada materi Pancasila dan wawasan kebangsaan. Padahal menurut ketentuan resmi dari BPIP, tes ulang tidak diperkenankan untuk materi tersebut.
“Hal ini jelas melanggar prosedur standar dan mencederai prinsip keadilan dalam seleksi nasional,” ungkap Fero.
Fero menduga adanya permainan atau intervensi dalam penetapan peserta. Selain itu, ia juga menuding dua peserta yang mengulang tes dan lulus ke tahapan seleksi tingkat nasional merupakan titipan dan pesanan dari oknum tertentu.
Di sisi lain, Fero menjelaskan banyak informasi yang diterima dan dinamika di lapangan jika terdapat intervensi atau permainan dari pihak tertentu dalam panitia seleksi provinsi. Walhasil, hal itu memengaruhi hasil akhir dan berpotensi menguntungkan pihak-pihak tertentu.
“Yang anehnya peserta dari Lombok Tengah yang lulus murni dan tidak pernah mengulang tes, malah dijadikan cadangan. Hebatnya, yang mengulang tes diistimewakan, ini ada apa dan kenapa? Dan keberatan ini tidak ditujukan untuk membela peserta dari Lombok Tengah semata, melainkan sebagai upaya menjaga muruah seleksi Paskibraka agar tetap bersih, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang dijunjung dalam program ini,” tegas Fero.