Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lombok Timur mengeklaim kasus sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) di daerah tersebut menurun sebesar 70 persen. Sunat perempuan sendiri digolongkan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual terhadap anak.
Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lombok Timur, Ahmat, saat menghadiri sosialisasi pencegahan pernikahan usia anak dan FGM bertajuk ‘Gawe Gubuk’ di Desa Paok Motong, Kecamatan Masbagik, Rabu (10/9/2025).
“Dari hasil survei yang kami lakukan, sebanyak 70 persen kasus sunat perempuan atau FGM ini sudah tidak dilakukan lagi. Sisanya 30 persen lagi,” ucap Ahmat ketika diwawancarai awak media, Rabu.
Ahmat mengeklaim tidak sulit menghapus fenomena sunat perempuan tersebut. Sebab, dia berujar, praktik tersebut selama ini lebih banyak dilakukan oleh tenaga kesehatan (nakes) ketimbang dukun beranak.
“Kami larang dan koordinasikan nakes untuk melarang. Beda kalau dilakukan oleh dukun beranak, tentu sulit nanti kami deteksi,” ujar Ahmat.
Menurut Ahmat, hal yang sulit dilakukan saat ini adalah menekan angka pernikahan usia anak di Lombok Timur. Pemkab Lombok Timur, dia melanjutkan, akan tetap menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil untuk menekan kasus tersebut.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lombok Timur, Judan Putrabaya, menjelaskan sunat perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak. Ia menerangkan praktik sunat perempuan dapat menimbulkan luka pada area sensitif anak.
Judan membeberkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan NTB masuk dalam sepuluh provinsi dengan kasus sunat perempuan tertinggi di Indonesia. “NTB ini termasuk masih tertinggi, tapi datanya tidak menyebutkan secara spesifik kabupaten mana yang menjadi lokusnya,” ujarnya.
LPA Lombok Timur telah menelusuri kasus sunat perempuan di daerah tersebut. Hasilnya, masih ditemukan praktik sunat perempuan dalam tiga bulan terakhir. Menurut Judan, sunat perempuan saat ini masih menjadi perdebatan diantara tokoh agama.
“Meskipun masih menjadi perdebatan, kami telah melakukan dialog dengan para tokoh tersebut bersama pihak kesehatan sehingga semuanya sepakat untuk menolak praktik sunat perempuan ini,” terang Judan.