Pebha Wake Waka: Tradisi Adat Nagekeo untuk Selesaikan Pencemaran Nama Baik

Posted on

Warga Kampung Sawu Obo, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki tradisi adat unik dalam menyelesaikan konflik pencemaran nama baik. Tradisi itu dikenal sebagai Pebha Wake Waka, yang diwariskan turun-temurun sebagai bentuk pemulihan martabat seseorang yang difitnah atau dituduh tanpa bukti.

Hal tersebut disampaikan Mosa Laki Kampung Sawu Obo, Gabriel Lipu (67) saat dihubungi infobali beberapa waktu lalu. Gabriel menjelaskan Pebha Wake Waka kerap dilakukan ketika seseorang dituduh tanpa bukti atas kesalahan, seperti dicurigai sebagai suanggi (dukun santet) dan tuduhan lainnya, meskipun tuduhan tersebut tidak benar.

“Upacara ini adalah cara kami untuk mengangkat kembali martabat seseorang yang telah jatuh karena pencemaran nama baik,” jelas Gabriel.

Menurutnya ketika seseorang merasa nama baiknya dicemarkan, ia dapat melaporkan kasus tersebut kepada pemimpin adat. Tuan adat kemudian memanggil pihak yang menuduh untuk menjalani proses interogasi, dipimpin oleh Ine Tana Ame Watu (Mosalaki Pu’u). Jika tuduhan terbukti tidak berdasar, pelaku pencemaran nama baik wajib menjalani sanksi adat.

“Pelaku harus menyediakan kerbau besar sebagai bentuk denda, atau dalam istilah adat disebut waja,” ungkap Gabriel.

Kerbau ini akan disembelih dan darahnya digunakan dalam ritual sebagai simbol penyucian. Kepala kerbau kemudian digantung di Peo, sebuah tiang adat yang menjadi simbol rekonsiliasi dan persatuan masyarakat adat.

Gabriel menjelaskan Peo berfungsi sebagai tempat sakral, tempat kepala kerbau digantung, sekaligus pusat prosesi adat. Setelah kepala kerbau digantung, masyarakat adat berkumpul untuk mendengarkan Sa Bhea (kata-kata adat) yang menegaskan bahwa individu yang tertuduh tidak bersalah.

“Ini adalah momen untuk saling memaafkan dan mengakhiri segala dendam,” tambah Gabriel.

Daging kerbau dibagikan kepada seluruh masyarakat dan dimakan bersama-sama, termasuk oleh pihak yang menuduh.

Upacara Pebha Wake Waka diakhiri dengan perdamaian antara kedua pihak. Mereka saling memaafkan, menandai hilangnya dendam dan konflik.

“Darah kerbau mensucikan kembali nama orang yang telah tercemar, dan Peo menjadi lambang persatuan serta rekonsiliasi,” kata Gabriel.

“Ini bukan sekadar ritual, tetapi bentuk tanggung jawab moral untuk memulihkan hubungan antarindividu,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *