Umat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan dengan semarak setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Rabu atau Buda Kliwon Dungulan. Saat rangkaian Galungan itu, terdapat pantangan yang berlaku selama 42 hari, dimulai dari Buda Pon Sungsang hingga Buda Kliwon Pahang.
Pantangan selama momen Galungan dan Kuningan ini dikenal dengan istilah nguncal balung. Selama rentang waktu tersebut, tidak dianjurkan untuk menggelar upacara besar seperti pernikahan (pawiwahan) hingga ngaben.
Berbagai upacara manusa yadnya hingga bhuta yadnya baru diperkenankan dilaksanakan setelah Pegatwakan atau Pegat Uwakan yang jatuh pada Buda Kliwon Pahang atau 35 hari setelah Galungan. Biasanya, Pegatwakan ditandai dengan pencabutan penjor Galungan.
Nguncal balung terdiri dari dua kata, yaitu nguncal atau uncal yang berarti membuang dan balung memiliki arti tulang. Selama fase nguncal balung, umat Hindu disarankan melepas sifat-sifat negatif dan fokus mencurahkan konsentrasi merayakan hari kemenangan dharma atas adharma.
Dari sisi padewasan dalam pengetahuan orang Bali, fase dari Buda Pon Sungsang hingga Buda Kliwon Pahang dianggap sebagai dewasa yang kurang baik. Seperti namanya, nguncal balung dianggap sebagai hari yang tidak memiliki ‘tulang’ sehingga berbagai upacara besar tidak disarankan digelar.
Upacara yadnya seperti tawur, melasti, acara pernikahan, melaspas, upacara potong gigi, hingga membangun pura dianjurkan untuk ditunda. Meski begitu, pantangan tersebut dikecualikan untuk upacara-upacara yang bersifat rutin. Misalkan hari otonan atau tegak pujawali pura yang tetap bisa dilaksanakan.
Rangkaian terakhir dari perayaan Galungan dan Kuningan disebut pegatwakan atau pegat uwakan. Pada hari pegatwakan ini, umat Hindu dapat mencabut penjor yang telah dipasang sejak hari penampahan Galungan.
Setelah penjor dicabut, berbagai hiasan dan aksesoris penjor seperti sampian, lamak, dan ainnya dapat dibakar. Kemudian, sebagian abunya disimpan ke dalam kelapa gading muda yang dikasturi.






