Ngerebeg, Tradisi ‘Halloween’ Sakral Anak-anak Bali yang Mendunia

Posted on

Bali punya tradisi unik bernama Ngerebeg yang sekilas mirip dengan Halloween di negara Barat. Tradisi ini rutin digelar setiap Budha Kliwon Pahang di Desa Adat Tegallalang, Gianyar.

Anak-anak dan remaja berdandan menyerupai Bhuta Kala, lalu mengelilingi desa sambil berteriak dan membawa perlengkapan upacara.

Ngerebeg telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI pada tahun 2022. Tradisi ini digelar menjelang upacara puncak di Pura Duur Bingin, yang diyakini memiliki banyak ‘panjakan’ atau makhluk tak kasat mata sebagai pengikut sesuhunan pura.

“Tidak ada catatan resmi sejarahnya bagaimana. Namun, ini sudah turun-temurun dilakukan. Kami meyakini sesuhunan (yang dihormati) dari Pura Duur Bingin ini punya banyak panjakan (bawahan) makhluk tak kasat mata sehingga yang Ngerebeg merepresentasikan itu,” kata Bendesa Adat Tegallalang, Dewa Nyoman Rai, saat ditemui infoBali, Kamis (29/5/2025).

Ngerebeg diikuti oleh anak-anak dari berbagai usia, bahkan balita yang belum masuk taman kanak-kanak turut ambil bagian didampingi orang tua mereka. Mereka berdandan nyentrik dan berkeliling desa sambil mesuryak atau berteriak “eoeo”.

Istilah ,Ngerebeg, berasal dari kata dasar gerebeg yang berarti menyisir wilayah. Tujuannya adalah untuk menetralisir unsur negatif di desa dan mempersiapkan masyarakat menjelang upacara adat.

Dahulu, peserta Ngerebeg menghias tubuh dengan arang dan pamor (kapur sirih) membentuk pola sederhana. Kini, anak dan remaja menggunakan body painting yang lebih kreatif, tetap dengan catatan tidak keluar dari nilai-nilai tradisi.

Mereka bebas mengekspresikan karakter yang diambil dari pewayangan, Bhuta Kala, atau makhluk mitologis lain. Namun, tidak diperbolehkan menampilkan unsur pornografi, politik, hingga SARA karena tradisi ini bersifat sakral.

Selain melukis tubuh, para peserta juga membawa penjor, pelepah salak, dan mengenakan gelungan janur di kepala. Menurut Dewa Rai, semua atribut itu memiliki makna khusus.

“Supaya mampu mengasah ketajaman diri dan mampu memilah mana yang benar dan salah. Sementara itu, janur di kepala sebagai identitas panjak dari sesuhunan Pura Duur Bingin,” ujarnya.

Sebelum pelaksanaan Ngerebeg, masyarakat terutama anak-anak dan remaja menjalani masa persiapan selama lima hari. Mereka melakukan ayahan atau gotong royong, membawa dedaunan, bunga, dan buah-buahan ke pura sebagai sarana upacara.

Sebagai bentuk penghargaan, mereka diberikan pica alit (nasi dengan lauk sederhana). Setelah selesai Ngerebeg, para peserta mendapatkan pica ageng yang dimakan secara megibung atau makan bersama dalam satu wadah.

“Ya, simbol kebersamaan dan rasa syukurlah. Baru ditutup dengan membilas diri di klebutan (mata air) dekat pura dan bersembahyang bersama,” tutup Rai.

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *