Pelajar dari Green School Bali, Ni Putu Pradnya Lalita Nara menjadi salah satu pembicara di Chandi Summit 2025 yang digelar oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) pada 3-5 September 2025 di The Meru Sanur, Denpasar, Bali.
Lalita menyampaikan pemikirannya yang selama ini menjadi keresahannya sebagai anak muda asal Bali yang mempertahankan budaya di tengah perubahan budaya yang kian modern.
Lalita mengatakan budaya sangat melekat pada dirinya dari dia lahir hingga saat ini di usia remaja. Budaya terjalin di kehidupan anak-anak Bali, mereka telah diajarkan sejak kecil untuk menari, bermain musik gamelan, dan cara mengenakan kebaya.
“Meskipun saya merayakan budaya saya sendiri, saya tidak dapat mengabaikan tantangan yang kita hadapi. Dan tantangan ini bukan tentang hilangnya budaya, terutama dalam bagaimana tradisi berinteraksi dengan keberlanjutan,” kata Lalita dalam pemaparannya di Chandi Summit, Kamis (4/9/2025).
Lalita menyampaikan di Bali sesajen merupakan bagian penting dari kehidupan spiritual masyarakat. Setiap hari warga Bali melakukan sembahyang dengan mengaturkan canang dan sesajen di area rumah.
Secara tradisional, sesajen dibuat menggunakan bahan-bahan alami, daun kelapa yang dianyam, bunga yang segar yang baru dipetik dari kebun, dan buah lokal yang ditanam secara subur dan segar.
“Setiap elemen berasal dari alam, berasal dari bumi dan ketika kembali ke bumi, tidak ada salahnya,” jelasnya.
Alih-alih hanya menggunakan buah-buah lokal, Lalita kerap melihat sesajen menggunakan buah-buahan yang masih dilabeli stiker dan di dalam kemasan plastik. Bahkan berdekorasi pita merah.
Terkadang, benda-benda tersebut tercampur dalam sesajen dan tidak terurai secara hayati. Hal tersebut menjadi pertanyaan bagi Lalita. Pertanyaan yang terlintas di pikiran Lalita adalah mengata harus menambahkan benda-benda tersebut. Adanya benda-benda itu menjauhkan dari apa yang telah diharmonisasikan selama ini.
“Sering kali ketika saya menanyakan pertanyaan ini terutama kepada para tetua, jawabannya yang saya terima adalah nak mule keto (memang begitu adanya),” ujar Lalita.
Nak mule keto artinya adalah memang begitu adanya. Dia menilai kata tersebut adalah frasa kata yang memang kerap digunakan oleh orang Bali.
Dia menilai kata tersebut menjadi anomali bagi kaum muda. Ketika anak muda bertanya tentang budaya, tentang ritual spiritual dilakukan dengan cara tertentu atau praktik baru ditambahkan ke dalam tradisi. Tetapi, selalu dijawab dengan kata ‘nak mule keto’. Seakan-akan tidak ada sejarah atau cerita dalam kegiatan budaya dan tradisi Bali yang selama ini dilakukan berabad-abad.
“Di satu sisi, respons ini mencerminkan kebijaksanaan, ini adalah pengingat bahwa tradisi kita sudah ada sejak lama, bahwa tradisi ini berasal dari praktik berabad-abad,” ungkap dia.
Baginya, anak muda juga kerap menerima informasi yang tidak lengkap, mengambang, dan membingungkan. Lalita menyimpulkan jika budaya saat ini dilakukan tanpa sepenuhnya memahami apa maknanya.
“Kita ingin memahami, kita ingin menemukan makna. Dan kita ingin membawa budaya ke masa depan, bukan hanya sebagai serangkaian kebiasaan, tetapi sebagai pengetahuan yang hidup,” beber Lalita.
Itulah sebabnya, Lalita tidak melihat kata ‘nak mule keto’ sebagai akhir sebuah percakapan, tetapi sebagai awalan dari sebuah dialog. Dialog antara yang muda dan tua, antara budaya dan rasa ingin tahu, dan antara masa lalu dan masa depan.
“Pada akhirnya mengapa ini penting? Karena budaya dan keberlanjutan tidak dapat dipisahkan. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Secara tradisional budaya Bali pada dasarnya berkelanjutan,” tutur Lalita.