Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim buka suara terkait kasus dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun pada periode 2020-2022. Ia menyatakan siap diperiksa.
Nadiem menegaskan bahwa seluruh kebijakan yang diambil saat menjabat Mendikbudristek selalu berlandaskan transparansi, keadilan, dan iktikad baik.
“Saya siap bekerja sama dan mendukung aparat penegak hukum dengan memberikan keterangan atau klarifikasi apabila diperlukan,” ujar Nadiem saat memberikan keterangan kepada wartawan, Selasa (10/6/2025) dilansir infoEdu.
Nadiem yakin bahwa proses hukum yang berjalan mampu membedakan antara kebijakan yang dijalankan dengan niat baik dan tindakan yang menyimpang dalam pelaksanaannya.
Ia mengeklaim dirinya tak pernah menoleransi praktik korupsi dalam bentuk apapun. Untuk itu, ia meminta masyarakat untuk tidak terburu-buru mengambil kesimpulan.
“Saya tidak pernah menoleransi praktik korupsi dalam bentuk apapun. Saya mengajak masyarakat untuk tetap kritis, namun adil. Tidak terburu-buru dalam menarik kesimpulan di tengah derasnya opini yang dibentuk,” ungkapnya.
Eks Mendikbud itu juga menegaskan akan berkomitmen untuk bersikap kooperatif pada proses hukum yang berlangsung. Ia berharap dengan begitu kepercayaan publik terhadap transformasi pendidikan terus terjaga.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung (Kejagung) memulai penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan digitalisasi pendidikan sejak Selasa, (20/5/2025). Sebanyak 28 saksi yang diduga terkait kasus ini telah diperiksa.
Kejagung juga menggeledah apartemen tiga staf khusus eks Mendikbudristek Nadiem Makarim. Ketiganya adalah Fiona Handayani (FH), Jurist Tan (JT), dan Ibrahim Arief (IA).
“Dengan cara mengarahkan kepada tim teknis agar membuat kajian teknis terkait pengadaan peralatan TIK supaya diarahkan pada penggunaan laptop yang berbasis pada operating system Chromebook,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, dikutip dari infonews.
Padahal, kata Harli, hal itu bukan menjadi kebutuhan siswa pada saat itu. Terlebih, pada tahun 2019, penggunaan laptop yang berbasis pada operating system Chromebook itu sudah diuji coba dan hasilnya tidak efektif.
Harli mengatakan proyek itu menghabiskan anggaran negara hingga Rp 9,9 triliun. Jumlah itu terdiri dari Rp 3,5 triliun dari satuan pendidikan dan Rp 6,3 triliun melalui dana alokasi khusus (DAK).
Artikel ini telah tayang di infoEdu. Baca selengkapnya