Miris! NTT Kekurangan Dokter Anestesi, Sampai Pinjam dari Kemenkes

Posted on

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tengah menghadapi kekurangan dokter spesialis anestesi. Saat ini, NTT hanya memiliki 47 dokter anestesi, sebagian besar di antaranya berstatus pinjaman dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (Perdatin) NTT, Robinzon G. Fanggidae, mengatakan jumlah tersebut jauh dari cukup untuk melayani kebutuhan medis di seluruh wilayah NTT.

“Dari jumlah 47 dokter anestesi ini untuk wilayah NTT ini tentunya sangat kurang karena mereka bukan di kamar operasi saja tapi harus di ICU, urusan nyeri, gawat darurat, dan macam hal,” jelas Robinzon di Kupang, Jumat (24/10/2025).

Robinzon menjelaskan, dokter anestesi di NTT tersebar di Pulau Timor hingga Sumba untuk melayani 22 kabupaten/kota.

“Di Kupang sendiri ada 13 orang dan di Pulau Sumba, Pulau Flores, itu rata-rata ada satu sampai dua orang,” katanya.

Menurut dia, sebagian dokter anestesi di NTT berstatus pegawai organik atau PNS di rumah sakit daerah, sementara sebagian lainnya merupakan tenaga pinjaman dari Kemenkes.

“Ada dokter yang dipinjam dari Kemenkes, dari Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS), program sukarela untuk pemerataan layanan dokter spesialis di Indonesia,” terangnya.

“Ada pinjaman dari Kemenkes, jadi PGDS dan juga ada yang masih kerja sama dengan universitas,” tambahnya.

Namun, dokter-dokter pinjaman itu jarang bertahan lama di NTT.

“Dokter pinjaman ini pun tidak lama berada di NTT. Kebanyakan dari dokter-dokter ini pindah setelah satu atau dua tahun bertugas di NTT. Ini mau sampai kapan seperti ini,” ujarnya.

Robinzon menilai, NTT perlu mencetak dokter anestesi sendiri agar tidak terus bergantung pada tenaga dari luar.
“Anak-anak dari daerah patutnya dididik supaya dapat mengabdi di NTT dan dapat didistribusikan secara merata di tempat yang membutuhkannya,” tukasnya.

Perdatin NTT, lanjutnya, telah menjalin kerja sama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) untuk mencetak dokter spesialis anestesi.
“Ini cita-cita kami sebagai kolegium dengan adanya kerja sama dari Undana sehingga kekurangan dokter anestesi di NTT ini dapat terjawab karena kalau kita meminta bantuan dari luar datang pun mereka tidak akan lama,” kata Robinzon.

Ia berharap program tersebut dapat memprioritaskan putra-putri daerah dan mendapat dukungan beasiswa dari Pemerintah Provinsi NTT.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTT, Stef Soka, menyebut kondisi kekurangan dokter anestesi di NTT sangat memprihatinkan.
“Memang kondisi ini cukup memprihatinkan, karena sebagian besar dari dokter-dokter anestesi berada di Kota Kupang, mungkin sebagiannya dari dokter yang ada,” ujar Stef.

Menurut dia, penumpukan dokter di Kupang bukan karena keinginan pribadi, melainkan karena banyak rumah sakit rujukan berada di ibu kota provinsi itu.
“Itu semua bukan karena ada penumpukan di Kupang tetapi karena di wilayah Kupang sendiri dengan adanya beberapa rumah sakit yang jadi pusat rujukkan itu, juga membutuhkan dokter anestesi cukup banyak,” jelasnya.

Direktur RSUD W. Z. Johannes itu menambahkan, sejumlah pemerintah kabupaten masih mengandalkan program PGDS dari Kemenkes untuk mengisi kekosongan dokter spesialis, meski sifatnya sementara.
“Selama ini memang beberapa pemerintah kabupaten masih mengandalkan program Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) dari Kementerian Kesehatan, dimana dokternya datang bersifat sementara,” katanya.

Sebagai Ketua IDI NTT, Stef berharap pemerintah daerah menciptakan suasana kerja yang nyaman bagi para dokter, mulai dari penyediaan sarana prasarana hingga pemberian insentif yang layak.

“Kenapa demikian, agar para dokter yang dari luar ditempatkan di NTT merasa betah untuk mengabdi seperti sarana prasarana penunjang seperti alat medis,” katanya.

Menurut Stef, investasi di bidang tenaga ahli menjadi kunci agar pelayanan kesehatan di NTT lebih merata.
“Terkadang sarana prasarana ini menjadi kendala, karena ada tenaga ahli tapi sarana penunjang tidak ada ini yang perlu diperhatikan pemerintah daerah agar mereka (dokter) bisa puas dengan menjalankan tugasnya,” terang dia.

“Selain peralatan medis yang memadai, juga pemerintah daerah harus mampu memberikan insentif yang baik kepada para dokter. Kenapa demikian kalau mereka merasa di daerah tidak mampu kenapa tidak kembali ke daerah asal mereka untuk mengabdi seperti kalau upaya yang diterima sama atau lebih kecil dari daerah mereka,” lanjut Stef.

Dorongan Cetak Dokter dari Putra Daerah

Dokter Terpusat di Kupang

Robinzon menilai, NTT perlu mencetak dokter anestesi sendiri agar tidak terus bergantung pada tenaga dari luar.
“Anak-anak dari daerah patutnya dididik supaya dapat mengabdi di NTT dan dapat didistribusikan secara merata di tempat yang membutuhkannya,” tukasnya.

Perdatin NTT, lanjutnya, telah menjalin kerja sama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) untuk mencetak dokter spesialis anestesi.
“Ini cita-cita kami sebagai kolegium dengan adanya kerja sama dari Undana sehingga kekurangan dokter anestesi di NTT ini dapat terjawab karena kalau kita meminta bantuan dari luar datang pun mereka tidak akan lama,” kata Robinzon.

Ia berharap program tersebut dapat memprioritaskan putra-putri daerah dan mendapat dukungan beasiswa dari Pemerintah Provinsi NTT.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTT, Stef Soka, menyebut kondisi kekurangan dokter anestesi di NTT sangat memprihatinkan.
“Memang kondisi ini cukup memprihatinkan, karena sebagian besar dari dokter-dokter anestesi berada di Kota Kupang, mungkin sebagiannya dari dokter yang ada,” ujar Stef.

Menurut dia, penumpukan dokter di Kupang bukan karena keinginan pribadi, melainkan karena banyak rumah sakit rujukan berada di ibu kota provinsi itu.
“Itu semua bukan karena ada penumpukan di Kupang tetapi karena di wilayah Kupang sendiri dengan adanya beberapa rumah sakit yang jadi pusat rujukkan itu, juga membutuhkan dokter anestesi cukup banyak,” jelasnya.

Direktur RSUD W. Z. Johannes itu menambahkan, sejumlah pemerintah kabupaten masih mengandalkan program PGDS dari Kemenkes untuk mengisi kekosongan dokter spesialis, meski sifatnya sementara.
“Selama ini memang beberapa pemerintah kabupaten masih mengandalkan program Program Pendayagunaan Dokter Spesialis (PGDS) dari Kementerian Kesehatan, dimana dokternya datang bersifat sementara,” katanya.

Sebagai Ketua IDI NTT, Stef berharap pemerintah daerah menciptakan suasana kerja yang nyaman bagi para dokter, mulai dari penyediaan sarana prasarana hingga pemberian insentif yang layak.

“Kenapa demikian, agar para dokter yang dari luar ditempatkan di NTT merasa betah untuk mengabdi seperti sarana prasarana penunjang seperti alat medis,” katanya.

Menurut Stef, investasi di bidang tenaga ahli menjadi kunci agar pelayanan kesehatan di NTT lebih merata.
“Terkadang sarana prasarana ini menjadi kendala, karena ada tenaga ahli tapi sarana penunjang tidak ada ini yang perlu diperhatikan pemerintah daerah agar mereka (dokter) bisa puas dengan menjalankan tugasnya,” terang dia.

“Selain peralatan medis yang memadai, juga pemerintah daerah harus mampu memberikan insentif yang baik kepada para dokter. Kenapa demikian kalau mereka merasa di daerah tidak mampu kenapa tidak kembali ke daerah asal mereka untuk mengabdi seperti kalau upaya yang diterima sama atau lebih kecil dari daerah mereka,” lanjut Stef.

Dorongan Cetak Dokter dari Putra Daerah

Dokter Terpusat di Kupang