Tari Cerana merupakan salah satu tari tradisional yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di wilayah Kupang dan Pulau Rote. Tarian ini lahir dari budaya masyarakat Timor sebagai bentuk penghormatan, keramahan, dan penerimaan tamu sebagai bagian penting dalam kehidupan sosial mereka.
Tari Cerana diciptakan oleh Bartje Adelaida Nisnoni-Amalo Jawa, yang merupakan istri dari Raja Kupang pada tahun 1955. Kehadiran tarian ini berkembang di lingkungan bangsawan pada masa itu. Oleh karena itu, Tari Cerana terkesan sakral dan eksklusif pada awal kemunculannya.
Pada masa lampau, Tari Cerana berfungsi sebagai tarian penyambutan khusus bagi para bangsawan, tamu agung, dan pejabat penting yang berkunjung ke wilayah Kupang dan sekitarnya. Tarian ini merupakan bentuk penghormatan tertinggi dari masyarakat setempat kepada tamu yang datang, sekaligus sebagai simbol penerimaan secara adat.
Ciri khas utama Tari Cerana terletak pada prosesi pemberian sirih dan pinang yang dilakukan di akhir tarian. Pemberian sirih dan pinang melambangkan ketulusan hati, kasih sayang, serta niat yang bersih dari masyarakat dalam menerima kehadiran tamu di daerah mereka.
Menurut tradisi masyarakat Timor, tamu yang menerima sirih dan pinang kemudian mengunyahnya merupakan bentuk penghormatan balik. Tradisi ini juga menandakan terjalinnya hubungan yang harmonis antara pendatang dan masyarakat adat setempat.
Kostum yang digunakan dalam Tari Cerana merupakan representasi busana adat khas Kupang dan wilayah Timor. Setiap elemen busana dan aksesoris yang dikenakan penari tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap visual, tetapi juga mencerminkan penghormatan, kesakralan, dan identitas masyarakat NTT.
Penari wanita mengenakan kain sarung panjang yang dililitkan dari dada hingga mata kaki. Kain yang digunakan umumnya berupa kain tenun ikat khas Timor dengan motif geometris dan pola berulang.
Motif tersebut melambangkan keteraturan hidup, keselarasan antara manusia dengan alam, serta hubungan manusia dengan leluhur. Warna-warna yang dominan seperti merah, hitam, cokelat, dan kuning keemasan memiliki makna filosofis.
Warna merah melambangkan keberanian dan kehidupan. Warna hitam melambangkan keteguhan serta kedalaman nilai adat. Sedangkan warna kuning atau emas melambangkan kemuliaan dan penghormatan terhadap tamu.
Rambut penari wanita ditata dalam bentuk konde yang mencerminkan kerapian, kedewasaan, dan martabat perempuan Kupang. Konde tersebut biasanya dihiasi dengan ikat kepala berbentuk bulan sabit yang menjadi ciri khas Tari Cerana. Bentuk bulan sabit melambangkan kesuburan, siklus kehidupan, serta harapan dan penerangan.
Penari wanita juga mengenakan gelang, sabuk, dan kalung khas yang terbuat dari logam atau manik-manik. Aksesoris ini melambangkan keindahan, status sosial, serta kekayaan budaya masyarakat Timor.
Properti utama yang dibawa oleh penari wanita adalah kotak sirih yang berisi sirih dan pinang. Kedua unsur tersebut merupakan simbol persaudaraan, ketulusan, serta penerimaan masyarakat terhadap tamu yang datang.
Sedangkan penari pria mengenakan baju adat berlengan panjang yang dipadukan dengan kain sarung dan kain selempang. Kain selempang melambangkan tanggung jawab serta kesiapan laki-laki dalam mendampingi dan melindungi jalannya prosesi adat.
Penutup kepala penari pria menyesuaikan dengan daerah asalnya. Di beberapa wilayah, penari menggunakan ti’i langga sebagai penutup kepala adat yang melambangkan kewibawaan, kepemimpinan, dan keberanian.
Di daerah lain, penari pria menggunakan kain ikat sebagai penutup kepala yang mencerminkan identitas kedaerahan dan keterikatan dengan tradisi leluhur. Sebagai pelengkap, penari pria juga mengenakan kalung khas Timor yang melambangkan kekuatan, kehormatan, dan nilai adat.
Pertunjukan Tari Cerana umumnya dimainkan oleh enam penari wanita dan satu orang penari pria. Tarian diawali dengan gerakan yang dilakukan secara serempak dan diiringi oleh alat musik tradisional. Gerakan antara penari wanita dan pria memiliki perbedaan yang jelas.
Penari wanita menampilkan gerakan tubuh yang lembut, perlahan, dan anggun sebagai simbol keramahan dan penghormatan. Sebaliknya, penari pria menampilkan gerakan tangan yang lebih lebar dan tegas yang melambangkan kekuatan dan perlindungan.
Pada bagian akhir tarian, penari pria mendampingi penari wanita menuju tamu kehormatan. Salah satu penari wanita kemudian memberikan sirih dan pinang kepada tamu sebagai simbol penerimaan secara adat.
Tamu yang menerima sirih dan pinang diharapkan untuk mengunyahnya sebagai tanda bahwa sambutan tersebut diterima dengan baik dan penuh rasa hormat. Setelah seluruh prosesi selesai, para penari meninggalkan arena pertunjukan, menandai berakhirnya Tari Cerana sebagai tarian penyambutan.
Pertunjukan Tari Cerana diiringi musik tradisional sasando, alat musik petik khas Pulau Rote. Sasando menghasilkan alunan bunyi yang lembut, merdu, dan menenangkan, sehingga sangat selaras dengan karakter Tari Cerana yang anggun dan penuh kesopanan.
Irama yang dimainkan biasanya bertempo pelan dan stabil agar sesuai dengan gerakan penari wanita yang halus serta gerakan penari pria yang terukur. Selain sasando, dalam beberapa pertunjukan tertentu juga dapat ditambahkan instrumen tradisional lain seperti gong dan gendang sebagai penguat ritme.
Gong berfungsi memberikan penanda pada bagian-bagian tertentu dalam tarian, sedangkan gendang membantu menjaga kestabilan irama. Perpaduan bunyi dari instrumen-instrumen tersebut menciptakan harmoni yang khas dan memperkuat suasana adat dalam prosesi penyambutan.
Alunan musik dalam Tari Cerana mampu membangkitkan rasa khidmat sekaligus menghadirkan nuansa hangat bagi tamu yang disambut. Musik yang dimainkan secara berkesinambungan membuat penonton dan tamu kehormatan dapat merasakan ketulusan serta keramahan masyarakat setempat.
Musik dan instrumen pengiring Tari Cerana tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan pertunjukan sebab ia menjadi elemen utama dalam menciptakan pengalaman magis sehingga siapapun yang mendengarkannya akan merinding dan hanyut dalam suasana budaya tersebut.
Tari Cerana dipentaskan untuk menyambut tamu yang datang dari luar wilayah Kupang. Tarian ini merepresentasikan sikap keterbukaan masyarakat Timor terhadap tamu dengan hati yang tulus, bersih, dan penuh niat baik.
Makna tersebut tercermin dalam lirik lagu pengiring Tari Cerana yang menggunakan bahasa Kupang, yaitu “bolele bo tanah Timor lelebo”. Ungkapan ini memiliki arti bahwa baik atau tidaknya suatu keadaan, tanah Timor tetap dianggap sebagai tempat yang lebih baik.
Lirik tersebut menggambarkan kebanggaan masyarakat terhadap tanah kelahirannya sekaligus menegaskan sikap ramah dan penerimaan yang tulus kepada setiap tamu yang datang. Dengan demikian, Tari Cerana tidak hanya menjadi pertunjukan seni, tetapi juga menjadi media penyampaian nilai identitas, kebersamaan, dan rasa hormat dalam budaya masyarakat Kupang.






