Bali erat kaitannya dengan penggunaan saput poleng atau kain bermotif hitam-putih. Kain ini memiliki makna dan fungsinya tersendiri yang erat kaitannya dengan adat dan kepercayaan masyarakat Hindu di Pulau Dewata.
Saput poleng menjadi simbol dari dua sifat yang bertolak belakang, seperti hitam-putih, baik-buruk, tinggi-rendah, dan sebagainya. Saput poleng berpola catur ini disebut simbol Rwa Bhineda. Keyakinan ini memiliki konsep keseimbangan antara hal baik dan hal buruk, dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Terdapat beberapa jenis kain poleng. Salah satunya adalah kain poleng sudamala atau bermotif hitam, putih, dan abu-abu. Warna abu-abu berfungsi sebagai penyelaras dari hitam-putih simbol Rwa Bhineda. Kemudian, ada juga saput poleng tridatu, yakni merah, hitam, putih.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Filosofi saput poleng ini melambangkan ajaran Hindu, yaitu Triguna, yang terdiri dari satwam (kebijaksanaan) yang identik dengan warna putih, rajah (energi) yang identik dengan warna merah, serta tamah (penghambat) yang dilambangkan berwarna hitam.
Saput poleng biasanya digunakan saat upacara keagamaan umat Hindu. Tidak hanya upacara keagamaan, saput poleng juga digunakan sebagai bendera (umbul-umbul), atribut pura, atau sebagai penghias patung. Pada patung, kain poleng biasanya dililitkan seperti penggunaan kamen.
Tidak hanya digunakan saat upacara atau benda sakral, saput poleng juga biasa digunakan sebagai atribut pertunjukan seni ataupun digunakan sebagai pakaian adat Bali. Atribut kain poleng biasanya digunakan oleh pecalang atau petugas keamanan tradisional Bali. Hotel-hotel di Bali juga menggunakan saput poleng sebagai hiasan.