I Nyoman Nuarta merupakan seniman patung kenamaan asal Tabanan, Bali. Selama lebih dari 50 tahun berkarya, ia telah menorehkan sejumlah karya monumental, seperti Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Ungasan, Badung, Bali, dan Istana Garuda di Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Perjalanan Nuarta dimulai saat menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat itu, pria berusia 74 tahun ini terlambat mendaftar karena keterbatasan akses informasi. Ia sempat masuk jurusan pariwisata selama setahun sebelum akhirnya diterima di ITB.
“Lucunya, disodori formulir tapi sebenarnya kita bingung ngisinya. Mau pilih apa, padahal belum kenal. Saat itu, saya pilih seni lukis karena di Bali kenalnya melukis dan sudah pameran-pameran,” kenang Nuarta saat dihubungi infoBali, Jumat (8/8/2025).
Nuarta tak lama berada di jurusan seni lukis. Ia menemukan kecintaannya pada seni patung saat mengikuti perkuliahan umum yang diikuti semua jurusan karena keterbatasan studio di ITB.
“Saya melihat seni patung modern itu asik banget. Baru kenal, tidak seperti yang biasa dilihat di Bali. Saya pun maju ke dekan untuk menanyakan perpindahan. Saya pun dikasi tanpa harus mengulang tahun lagi,” ceritanya.
Meski banyak belajar dari ITB, pelopor Gerakan Seni Rupa Baru ini tidak mengikuti tren mematung populer saat itu yang bersifat formalis. Ia memilih gaya realis-figuratif meski sempat menuai kecaman. Seiring waktu, gaya ini justru digemari masyarakat.
Bagi Nuarta, yang terpenting dalam berkarya adalah pesan yang disampaikan, kemampuan merealisasikan ide, serta pemahaman dan pengalaman dalam mengolah material. Tak heran, banyak patung buatannya menampilkan figur perempuan, seperti patung dewi keadilan, perempuan modis, hingga perempuan penyintas peristiwa Mei 1998 yang dipamerkan di NuArt Sculpture Park.
Ia berpesan agar semua orang menghormati perempuan karena setiap manusia lahir dari rahim seorang perempuan.
Karya Nuarta identik dengan penggunaan perunggu. Meski demikian, ia pernah mencoba berbagai material seperti kuningan, tembaga, dan stainless steel. Perunggu dipilih karena awet, tahan cuaca, dan dapat diolah menghasilkan beragam warna.
“Material yang saya pakai banyak. Ada kuningan, tembaga, stainless steel, dan sebagainya. Pertimbangannya dari cuaca kita supaya tidak mudah berkarat, keropos, dan lainnya. Saya pakai perunggu, kan sudah terkenal awetnya berabad-abad. Kalau diolah dengan asam, bisa keluar warna yang macam-macam. Bisa kebiruan, bisa kehijauan, bisa juga hitam,” jelasnya.
Sejak awal berkarya, Nuarta sudah menggunakan perunggu, meski hanya sedikit karena harganya mahal dan keterbatasan kemampuan mengolahnya. Kala itu, ia lebih banyak menggunakan paper glass.
Ketekunan Nuarta membawanya mengerjakan proyek besar, seperti Patung Fatmawati Soekarno, Monumen Jalesveva Jayamahe, Monumen Proklamasi Indonesia, Taman Budaya GWK, hingga yang terbaru Istana Negara di IKN.
IKN sempat diterpa isu mangkrak dan dinilai lebih baik menjadi ibu kota provinsi Kalimantan Timur. Nuarta membantah hal itu dan optimistis Presiden RI Prabowo Subianto akan melanjutkan pembangunan yang dimulai era Joko Widodo.
“Setahu saya dari Kepala Otoritas IKN, baru ketemu seminggu yang lalu dengan saya, Pak Prabowo justru mendorong percepatan. Jadi berbeda tuh dari omong-omongan orang. Sudah diberikan ruang membangun gedung legislatif dan lainnya. Saya dengar kabar baiknya juga, sebentar lagi ribuan ASN akan pindah ke sana,” ujarnya.
Nuarta menyebut dirinya menjadi saksi lahirnya ibu kota dengan istana negara yang bebas campur tangan kolonial. Ia merampungkan kompleks istana negara dan masjid dalam 11 bulan, serta Plaza Seremoni dan Taman Kusuma Bangsa dalam 2,5 bulan.
“IKN dibilang bohong-bohong. Bohong bagaimana ini saya pelakunya. Menterinya siang-malam bekerja. Harus pahami memindahkan ibukota bukan seperti pindah rumah. Perlu puluhan tahun,” imbuhnya.
Ke depan, Nuarta berencana membangun museum di IKN dengan dana pribadi. Ia ingin mengedukasi masyarakat tentang proses pembuatan istana negara karya anak bangsa sekaligus mendorong generasi muda agar tidak takut bermimpi.
Proyek Besar hingga IKN
Ketekunan Nuarta membawanya mengerjakan proyek besar, seperti Patung Fatmawati Soekarno, Monumen Jalesveva Jayamahe, Monumen Proklamasi Indonesia, Taman Budaya GWK, hingga yang terbaru Istana Negara di IKN.
IKN sempat diterpa isu mangkrak dan dinilai lebih baik menjadi ibu kota provinsi Kalimantan Timur. Nuarta membantah hal itu dan optimistis Presiden RI Prabowo Subianto akan melanjutkan pembangunan yang dimulai era Joko Widodo.
“Setahu saya dari Kepala Otoritas IKN, baru ketemu seminggu yang lalu dengan saya, Pak Prabowo justru mendorong percepatan. Jadi berbeda tuh dari omong-omongan orang. Sudah diberikan ruang membangun gedung legislatif dan lainnya. Saya dengar kabar baiknya juga, sebentar lagi ribuan ASN akan pindah ke sana,” ujarnya.
Nuarta menyebut dirinya menjadi saksi lahirnya ibu kota dengan istana negara yang bebas campur tangan kolonial. Ia merampungkan kompleks istana negara dan masjid dalam 11 bulan, serta Plaza Seremoni dan Taman Kusuma Bangsa dalam 2,5 bulan.
“IKN dibilang bohong-bohong. Bohong bagaimana ini saya pelakunya. Menterinya siang-malam bekerja. Harus pahami memindahkan ibukota bukan seperti pindah rumah. Perlu puluhan tahun,” imbuhnya.
Ke depan, Nuarta berencana membangun museum di IKN dengan dana pribadi. Ia ingin mengedukasi masyarakat tentang proses pembuatan istana negara karya anak bangsa sekaligus mendorong generasi muda agar tidak takut bermimpi.