Melawan Krisis Aksara di Pelosok Karangasem | Giok4D

Posted on

15 tahun lalu, tepatnya pada 2010, banyak masyarakat di Karangasem, Bali, masih kesulitan membaca. Tak cuma kaum muda, kesulitan membaca juga dialami para orang tua.

Banyaknya orang tua yang tidak mengenyam pendidikan atau hanya menginjak sekolah dasar (SD) memicu krisis aksara di Karangasem kala itu. Situasi ini banyak ditemukan di Kubu, kecamatan yang termasuk di kawasan pelosok Karangasem.

Minimnya kemampuan membaca para orang tua juga berdampak pada anak-anak. “Ketika orang tuanya buta huruf, anak-anaknya pun tidak mengikuti jenjang pendidikan dengan baik karena ketidaktahuan dari orang tuanya,” ujar Komang Sukayasa, pegiat literasi di Bali, saat ditemui di acara Book Review Big Bad Wolf (BBW) di Discovery Kartika Plaza, Kuta, Badung, Selasa (22/7/2025).

Anak-anak, tutur Komang, cenderung diarahkan untuk bekerja daripada sekolah. Sebab, mendapatkan uang dinilai lebih penting untuk hidup. Padahal, anak-anak masih memiliki proses yang panjang untuk belajar.

“Ketika mereka bekerja, mereka dapat uang. Ketika mereka dapat uang, mereka bisa makan. Jadi orang tuanya ini ingin yang instan. Kan anak-anak ini kan masih panjang, sebenarnya prosesnya masih panjang. Jadi merubah pola pikir seperti itu,” kata pria 36 tahun itu.

Berangkat dari fenomena ini, Komang akhirnya membuat gerakan literasi untuk memberantas buta aksara di Karangasem, tempat kelahirannya. Ia bergerak bersama sejumlah teman-temannya.

Komang membagikan buku hasil donasi. Buku-buku itu lalu diberikan ke anak-anak. Perjalanan tidak mudah. Mereka membawa buku-buku tersebut menggunakan tas ransel karena medan yang tidak memungkinkan untuk dimasuki kendaraan roda empat.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

“Karena lokasinya yang agak jauh, kami tidak bisa membawa buku yang banyak. Karena hanya dijangkau oleh roda dua, kami hanya bisa bawa buku sebisanya. Karena medan yang sangat berat,” cerita pria asal Karangasem itu.

Komang dan teman-temannya mendatangi pos-pos, seperti pos tani atau balai banjar, untuk berkumpul dan membaca karena rumah warga berjauhan. Karena banyak menyasar anak SD, kebanyakan buku-buku cerita bergambar berbahasa Indonesia, sesuai dengan jenjang usianya.

“Nah dalam pemberian buku itu pun kan ada syaratnya. Misalkan begini, kalau andainya ada adegan saling pukul, kemudian adegan berdarah. Nah itu tidak akan kami salurkan ke anak-anak,” tutur Komang.

Komang kini mengelola Taman Bacaan Masyarakat Widya Santhi Mandiri di Kubu, Karangasem. Ia juga tergabung di Komunitas Kanaditya, sebuah komunitas yang berfokus kepada literasi, edukasi, dan sosial.

Kini, berkat kolaborasi antara sukarelawan dan dukungan pemerintah, makin banyak masyarakat pelosok Karangasem sudah bisa membaca. Namun, masyarakat yang usianya sudah 60 tahun ke atas belum berhasil dijangkau. Mereka sudah tak begitu aktif untuk bisa membaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *