LPA Soroti Maraknya Pelecehan Seksual Anak di Lingkungan Pendidikan Lombok Timur

Posted on

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lombok Timur menyoroti meningkatnya kasus pelecehan seksual terhadap anak, khususnya yang terjadi di lingkungan pendidikan. Sepanjang 2025, LPA telah menerima tiga laporan kasus, dua di antaranya terjadi di lembaga pendidikan.

“Akhir-akhir ini justru banyak kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan pendidikan, salah satu penyebabnya banyak lembaga pendidikan yang belum berperspektif perlindungan anak terutama terkait pelecehan seksual,” kata Ketua LPA Lombok Timur Judan Putra Baya kepada infoBali, Selasa (29/4/2025).

Dari tiga kasus tersebut, dua terjadi di lembaga pendidikan swasta, dan satu lainnya menimpa seorang anak penyandang disabilitas.

Judan juga mengungkap keprihatinan atas kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan pondok pesantren. Parahnya, pelaku merupakan tokoh yang berpengaruh di lingkungan tersebut.

“Tempat yang kami harapkan untuk membina generasi bangsa, justru menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual, bahkan yang kami sayangkan pelakunya juga merupakan orang yang paling berpengaruh di lingkungan ponpes itu sendiri,” ujar Judan.

LPA juga menemukan sejumlah infrastruktur di pondok pesantren yang dinilai belum ramah anak. Ia mencontohkan kondisi asrama yang dihuni berdesakan, sehingga bisa berdampak pada kondisi psikologis anak.

“Infrastruktur seperti asrama di ponpes, masih ada juga kami temukan yang belum representatif, ukuran kamar 5 x 6 meter dihuni lebih dari 15-20 orang santri, tentunya itu bisa berisiko terhadap psikologi dan perkembangan anak,” jelasnya.

Judan mengatakan kendala utama dalam mengungkap kasus adalah minimnya keberanian korban untuk melapor, terutama di lingkungan pondok pesantren.

“Terutama di lingkungan ponpes, kami tidak tahu apakah mereka didoktrin sedemikian rupa, sehingga banyak dari korban tidak berani melapor, inilah sebenarnya yang menyebabkan kasus pelecehan seksual itu lama terungkap,” tuturnya.

Ia pun mendorong masyarakat agar tidak ragu melaporkan indikasi pelecehan seksual, baik ke aparat penegak hukum maupun langsung ke LPA.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2AP2KB) NTB, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat sejak 2020.

Tercatat 482 kasus pada 2020, meningkat menjadi 598 kasus (2021), 640 kasus (2022), 607 kasus (2023), dan 633 kasus sepanjang 2024. Dalam periode 2021-2024, Lombok Timur menjadi wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 847 kasus.

Disusul Lombok Utara (507 kasus), Lombok Barat (300), Kabupaten Bima (234), Kota Mataram (226), Dompu (217), Sumbawa (194), Lombok Tengah (190), Kota Bima (146), serta Sumbawa Barat (99 kasus).

Pemerintah Kabupaten Lombok Timur melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) telah membuka layanan hotline 24 jam untuk pelaporan kasus pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Kami membuka diri menerima laporan pelecehan seksual, sudah ada hotline-nya, jadi kami harapkan siapapun yang merasa menjadi korban silakan melapor, begitu juga dengan korban kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Kepala DP3AKB Lombok Timur, Ahmat.

Ahmat memastikan pihaknya akan langsung memberikan pendampingan kepada pelapor dan menjaga kerahasiaan identitasnya.

“Ketika ada yang melapor hari ini, besoknya langsung akan kami berikan pendampingan, dan tetap akan menjaga kerahasiaan dan privasi data pelapor,” katanya.

Menurut Ahmat, tingginya angka kasus di Lombok Timur juga mencerminkan meningkatnya keberanian masyarakat untuk melapor, bukan semata-mata tingginya angka kejadian.

“Terkait tingginya kasus di Lombok Timur, ini berarti pelecehan seksual tidak menjadi hal yang tabu lagi, dan korban berani untuk melaporkan diri. Kabupaten lain juga tidak menutup kemungkinan angkanya tinggi, karena masyarakatnya tidak melapor, itu bisa saja kan,” tambahnya.

Sepanjang Januari-April 2025, DP3AKB telah menerima 23 laporan, terdiri dari kasus KDRT, pelecehan seksual, dan kasus lainnya yang sesuai tugas pokok dinas.

“Secara umum kami sudah menerima laporan 23 kasus, baik itu yang KDRT maupun kasus pelecehan seksual, ini data secara umum laporan yang masuk sampai bulan April ini,” beber Ahmat.

Untuk mencegah kasus serupa di lingkungan pendidikan, DP3AKB mendorong pengembangan sekolah ramah anak (SRA).

“Tujuannya supaya anak-anak ini terhindar dari perundungan maupun pelecehan seksual, makanya kami dorong adanya sekolah ramah anak,” tutup Ahmat.

Kasus di NTB Terus Meningkat

Pemkab Siapkan Hotline 24 Jam