Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengecam sanksi denda Rp 2 juta kepada SMY (14), siswi SMPN 1 Praya Timur yang viral setelah menikah dengan SR (17). LPA menilai langkah itu telah menjurus ke pungutan liar (pungli) karena tak punya dasar aturan.
“Memberikan sanksi denda pada anak yang menikah itu adalah menyelesaikan masalah dengan masalah. Dan itu jelas adalah pungli nggak bisa dibenarkan sama sekali,” kata Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, kepada infoBali seusai mengikuti acara sosialisasi pernikahan dini di Lombok Tengah, Selasa (17/6/2025).
Menurutnya, keputusan sekolah memberikan sanksi denda berupa uang bagi murid yang menikah bukan langkah untuk menyelesaikan masalah. Justru langkah itu akan menimbulkan persoalan baru karena akan membebani masyarakat.
“Kalau mau melakukan pencegahan, ya edukasi untuk memberikan sanksi ya jangan dengan uang. Dan keberlanjutan studi itu harus mau tidak mau itu sebagai langkah bagi Dinas Pendidikan,” ujarnya.
Joko khawatir adanya kebijakan seperti itu akan menyebabkan anak-anak enggan untuk bersekolah lagi karena sanksi denda ini tak merepresentasikan lembaga pendidikan sebagai tempat memberikan pembelajaran yang baik.
“Jangan sampai anak-anak yang kemudian terlanjur menikah jadi masalah tidak sekolah lagi. Kan salah kita jadinya,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan itu hampir dilakukan di seluruh sekolah yang ada di Lombok Tengah. Ia menyebut sudah memberikan masukan itu sejak jauh-jauh hari agar melepaskan kebiasaan buruk tersebut.
“Memberikan denda itu tidak pas. Saya beberapa menyampaikan, makanya di Mataram sudah tidak membolehkan. Dari dulu itu (mendenda murid yang menikah),” imbuhnya.
Ia menegaskan langkah yang dilakukan oleh pihak SMPN 1 Praya Timur itu merupakan kekeliruan yang tak boleh diulangi lagi. Baik di sekolah tersebut atau di tempat yang lain.
“Sekolah juga nggak paham kalau ini juga pungli. Tidak dibenarkan itu, perjanjian yang ada klausul haramnya itu tidak dibenarkan. Itu perjanjian yang tidak diperbolehkan, itu pungli itu,” tegasnya.
Joko pun mendorong dinas pendidikan setempat untuk memasukkan kesehatan reproduksi pernikahan anak sebagai kurikulum edukasi bagi murid. Selain itu, pihak sekolah juga diharapkan mempererat komunikasinya dengan orang tua siswa agar memiliki perspektif yang sama.
“Kemudian, untuk SMP dan SMA itu kan ada guru BK. Maksimalkan fungsi ini agar mampu memberikan pemahaman. Jangan kemudian tiba-tiba anak bermasalah keluarkan, denda ini tidak menyelesaikan masalah. Tugas sekolah itu memberikan pendampingan edukasi,” pungkasnya.