Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram Joko Jumadi mendorong aparat penegak hukum (APH) menerapkan pasal hukuman mati untuk AF, pimpinan yayasan pondok pesantren (ponpes) yang diduga mencabuli puluhan santriwatinya. Yakni, Pasal 81 ayat 5 dan Pasal 82 ayat 4 Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Sehingga nantinya pelaku ini bisa diancam dengan pidana maksimal. (Misalkan) pidana mati seumur hidup, itu bisa dilakukan. Misalkan saja seperti kasus yang ada di Jawa Barat, yang kemudian juga banyak santri yang menjadi korban. Saya pikir itu bisa dilakukan oleh APH sekarang,” kata Joko saat diwawancarai di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTB, Rabu sore (23/4/2025).
Data terbaru dari Polresta Mataram, sebanyak 10 korban ‘Walid Lombok’ itu sudah melapor dan diperiksa penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polresta Mataram.
“Lima di antaranya sudah disetubuhi. Dan dari identifikasi yang dilakukan teman-teman ada 22 (korban). Hari ini juga, dari tim sudah mengirimkan surat permohonan perlindungan dan permohonan restitusi ke LPSK,” tutur Joko.
Di sisi lain, Joko mempertanyakan peran Kementerian Agama (Kemenag) dalam kasus ini.
“Yang dipertanyakan adalah Kemenag ngapain? Seharusnya Kemenag menguatkan ponpes, memperbaiki tata kelolanya, memperbaiki sistem pengawasannya. Tidak kemudian tiba-tiba melakukan pembekuan atau penutupan begitu saja. Kan harus ada proses itu. (Masalahnya) proses ini nggak dilakukan oleh Kemenag,” cecar Joko.
Joko menyinggung Kemenang yang sebelumnya berjanji akan membentuk satgas merespons maraknya kasus kekerasan seksual beberapa waktu lalu. Namun, hingga saat ini janji itu tak terlaksana.
“Janjinya ketika ada kasus ponpes AA tahun lalu, akan membentuk satgas, sampai hari ini nggak ada. (Lalu) kalau kemudian hari ini kemenag melakukan pembekuan atau menutup ponpes, kenapa kemarin pas kasus AA tidak langsung ditindaklanjuti. Padahal itu sistematik. Kalau (kasus Walid Lombok) ini kan satu oknum, tetapi waktu AA itu sistematik,” katanya.