Pernahkan infoers mendengar legenda kisah cinta tragis di balik terciptanya sebuah budaya? Hal inilah yang menjadi cikal bakal munculnya barong landung di Kintamani.
Kisah romantisme itu berasal dari Sri Jaya Pangus dari Puri Balingkang dengan putri asal Tiongkok, Kang Cing Wie. Kisah cinta ini membuat sejarah dan budaya yang masih terjaga hingga kini.
Sri Jaya Pangus adalah penguasa Kerajaan Balingkang di Kintamani, Bangli. Ia dikenal bijak dan berwibawa. Hidup Sri Jaya Pangus berubah ketika bertemu Kang Cing Wie, putri pedagang Tiongkok yang datang ke Bali.
Wajah Kang Cing Wie yang lembut, tutur katanya sopan, dan kecerdasannya memikat sang raja. Mereka pun jatuh cinta dan menikah. Pernikahan lintas budaya itu sempat ditentang oleh sebagian bangsawan kerajaan.
Cinta mereka begitu tulus. Kang Cing Wie berusaha menyesuaikan diri dengan adat Bali, sementara Sri Jaya Pangus menghormati tradisi asal istrinya. Pernikahan mereka melahirkan harmoni dua dunia, Bali dan Tiongkok.
Di Kerajaan Balingkang, kehidupan rakyat pun makmur. Kang Cing Wie menjadi sosok yang dicintai karena kemurahan hatinya membantu rakyat kecil dan memperkenalkan budaya dagang dari negerinya.
Kisah cinta raja dan putri China itu terus berjalan. Namun, kebahagiaan mereka mulai diuji lantaran tak kunjung dikaruniai keturunan.
Sang raja kemudian memutuskan bertapa di Gunung Batur untuk memohon petunjuk kepada para dewa. Dalam perjalanan spiritualnya, ia bertemu Dewi Danu, penguasa danau dan gunung yang dikenal anggun dan sakti. Pesona Dewi Danu membuat Jaya Pangus terpikat. Mereka pun menjalin hubungan terlarang.
Kang Cing Wie mendapati kenyataan pahit saat menyusul suaminya ke Gunung Batur. Ia mendapati sang raja bersama perempuan lain.
Dewi Danu yang merasa tidak pantas mendapatkan perlakukan tersebut murka. Dengan kemarahan besar, ia mengutuk Sri Jaya Pangus dan Kang Cing Wie hingga lenyap dari dunia. Dari peristiwa itu, dipercaya Gunung Batur dan Danau Batur terbentuk menjadi simbol cinta yang abadi sekaligus peringatan akan kesetiaan yang dilanggar.
Berita tentang tewasnya Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We menyebabkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Hal ini membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan.
Dewi Danu kemudian menitahkan rakyat Balingkang membuat sepasang arca lelaki dan perempuan sebagai simbol pemimpin mereka serta mencampurkan abu Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We ke arca tersebut. Arca inilah yang hingga kini dipersonifikasikan sebagai barong landung.
Kedua Barong ini dibawa berkeliling desa diiringi gong dan doa dalam setiap upacara adat. Tradisi ini disebut Ngelawang Barong Landung, sebuah prosesi sakral untuk menolak bala dan membawa keseimbangan. Gerakan Jero Gede yang tegas dan Jero Luh yang lembut menggambarkan perpaduan kekuatan dan kasih sayang, seperti halnya hubungan laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi.
Barong landung kini tidak hanya sekadar simbol upacara, tetapi menjadi warisan budaya yang mencerminkan hubungan harmonis antara Bali dan Tiongkok. Banyak orang percaya, kehadiran arca barong landung di Pura Balingkang juga menjaga keseimbangan energi spiritual kawasan Kintamani.
Melalui barong landung, masyarakat Bali belajar bahwa cinta bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan perbedaan. Namun, bila cinta disertai pengkhianatan, ia juga bisa menjadi sumber bencana.
