Dua pelajar berusia 13 dan 14 tahun di Bali terpapar paham ekstremisme dan radikalisme agama. Kedua anak tersebut sempat bergabung dalam tiga grup WhatsApp (WA) yang terhubung dengan jaringan teroris.
Kasatgaswil Bali Densus 88 Kombes Antonius Agus Rahmanto membeberkan awal keterlibatan kedua bocah itu dalam acara Pencegahan, Penanganan, dan Reintegrasi Anak Terpapar Paham Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme di Denpasar, Kamis (11/12/2025).
“Berawal dari 110 anak yang kami selamatkan di Mabes Polri. Mereka kami dapat dari grup-grup WA,” kata Agus.
Agus menjelaskan, kedua bocah tersebut pertama kali terpapar melalui konten di media sosial. Dalam usia sekitar 10 tahun, mereka mencoba mencari arti dari konten itu dengan bertanya kepada orang tua dan keluarga.
Namun tak ada yang mampu memberi jawaban. Kondisi itu membuat keduanya beralih mencari informasi lewat internet.
“Namanya anak kecil ya, saat itu mereka masih usia 10 tahun. Kalau tidak dapat jawaban di dunia nyata maka nyarinya di internet. Begitu nyari di internet, di konten yang kebetulan jaringan yang (lima tersangka) si admin (grup WA) tadi,” ujar Agus.
Dari pencarian itu, dua remaja tersebut kemudian diajak masuk ke grup WA yang dikelola lima tersangka. Di sanalah mereka diajari materi menyesatkan terkait topik keagamaan.
“Mereka nanya ke mamanya, nanya ke tantenya, nggak ada yang bisa beri jawaban yang tepat. Akhirnya cari di internet. Jadi, (grup WA) itu memang jaringan teroris. Sebanyak 110 anak itu (tergabung dalam grup WA) jaringan teroris,” katanya.
Selama berada di grup WA itu, dua bocah Bali, bersama 108 anak lainnya, disuguhi konten provokatif yang mendorong cara berpikir radikal dan ekstrem. Para anggota grup berusia 10 sampai 16 tahun.
Kedua bocah Bali itu bahkan mulai mempelajari praktik terlarang dan sempat menargetkan dua lokasi di Bali. Agus menolak menjelaskan detail materi maupun target tersebut.
“Mereka (ratusan anak itu) diajari lebih private lagi oleh orang (ekstrimis) yang lebih ahli lagi. Sebenarnya, anak-anak ini paham, tapi karenanya (lima admin grup jaringan teroris) niatnya tidak benar, maka mereka memahaminya bahwa itu benar,” ujar dia.
Upaya kelompok ini terhenti setelah Densus 88 membongkar grup tersebut dan menangkap lima admin.
Agus mengingatkan orang tua agar memperhatikan perubahan perilaku anak yang mengarah ke hal negatif. Ia menyebut banyak anak mudah terpapar paham radikal karena pengalaman masa kecil yang berat, seperti perundungan maupun kurangnya perhatian keluarga.
“Karenanya, kita semua perlu memperhatikan anak-anak kita masing-masing di sekitar kita. Kalau ada perubahan, tolong peduli. Perubahan tidak seketika. Ada prosesnya,” katanya.
Ketua KPPAD Bali Luh Gede Yastini menegaskan pentingnya upaya pencegahan dan penanganan anak yang terpapar radikalisme maupun terorisme. Salah satunya melalui forum pencegahan, penanganan, dan reintegrasi anak terpapar intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di Bali.
“Kami menyatukan pandangan dari pihak yang berkepentingan dalam upaya pencegahan, penanganan, dan reintegrasi. Ini yang penting ketika bicara anak terpapar radikalisme hingga terorisme,” kata Yastini.
Forum tersebut melibatkan pemerintah daerah, majelis desa adat, hingga sejumlah instansi lain. Ada pula simulasi penanganan untuk membantu anak yang sudah terpapar.
“Karena, saat ini yang berkembang tidak hanya radikalisme agama. Tapi juga bentuk ekstrimisme lainnya. Kalau dua anak di Bali itu, yang satu mirip peristiwa di SMAN 72 Jakarta dan satunya lagi radikalisme agama,” ujarnya.
Konten Radikal dan Rencana Aksi
Peran KPPAD Bali
Selama berada di grup WA itu, dua bocah Bali, bersama 108 anak lainnya, disuguhi konten provokatif yang mendorong cara berpikir radikal dan ekstrem. Para anggota grup berusia 10 sampai 16 tahun.
Kedua bocah Bali itu bahkan mulai mempelajari praktik terlarang dan sempat menargetkan dua lokasi di Bali. Agus menolak menjelaskan detail materi maupun target tersebut.
“Mereka (ratusan anak itu) diajari lebih private lagi oleh orang (ekstrimis) yang lebih ahli lagi. Sebenarnya, anak-anak ini paham, tapi karenanya (lima admin grup jaringan teroris) niatnya tidak benar, maka mereka memahaminya bahwa itu benar,” ujar dia.
Upaya kelompok ini terhenti setelah Densus 88 membongkar grup tersebut dan menangkap lima admin.
Agus mengingatkan orang tua agar memperhatikan perubahan perilaku anak yang mengarah ke hal negatif. Ia menyebut banyak anak mudah terpapar paham radikal karena pengalaman masa kecil yang berat, seperti perundungan maupun kurangnya perhatian keluarga.
“Karenanya, kita semua perlu memperhatikan anak-anak kita masing-masing di sekitar kita. Kalau ada perubahan, tolong peduli. Perubahan tidak seketika. Ada prosesnya,” katanya.
Ketua KPPAD Bali Luh Gede Yastini menegaskan pentingnya upaya pencegahan dan penanganan anak yang terpapar radikalisme maupun terorisme. Salah satunya melalui forum pencegahan, penanganan, dan reintegrasi anak terpapar intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di Bali.
“Kami menyatukan pandangan dari pihak yang berkepentingan dalam upaya pencegahan, penanganan, dan reintegrasi. Ini yang penting ketika bicara anak terpapar radikalisme hingga terorisme,” kata Yastini.
Forum tersebut melibatkan pemerintah daerah, majelis desa adat, hingga sejumlah instansi lain. Ada pula simulasi penanganan untuk membantu anak yang sudah terpapar.
“Karena, saat ini yang berkembang tidak hanya radikalisme agama. Tapi juga bentuk ekstrimisme lainnya. Kalau dua anak di Bali itu, yang satu mirip peristiwa di SMAN 72 Jakarta dan satunya lagi radikalisme agama,” ujarnya.
