Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan komitmennya untuk segera menerbitkan peraturan daerah (Perda) tentang penyelesaian perkara melalui jalur keadilan restoratif berbasis hukum adat Bali.
Komitmen itu ditandai dengan penandatanganan kesepakatan Bale Kertha Adhyaksa oleh Koster bersama forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Senin (30/6/2025).
Koster mengatakan pihaknya segera memproses komitmen tersebut menjadi produk hukum daerah. Rancangan Perda akan diajukan ke DPD RI dan DPRD Bali pada awal Juli 2025, dengan target pengesahan akhir bulan yang sama.
“Akan segera memproses Bale Kertha Adhyaksa ini untuk menindaklanjuti dan dituangkan ke dalam peraturan daerah,” ujar Koster.
Koster menjelaskan, Perda tersebut memungkinkan penyelesaian perkara pidana maupun perdata yang terjadi di lingkungan desa adat atau kelurahan dilakukan di luar jalur peradilan umum. Mekanisme yang digunakan mengedepankan sanksi adat dan musyawarah berdasarkan kearifan lokal.
“Bisa diselesaikan dengan cara musyawarah. Dengan restorative justice berbasis kearifan lokal,” kata Koster.
Menurutnya, pendekatan ini lebih efektif karena desa adat di Bali telah memiliki sistem hukum dan sanksi tersendiri yang telah diterapkan sejak lama.
“(Penyelesaian perkara sebelum ada keadilan restoratif) nggak ada. Semua ke hukum positif (melalui peradilan),” ungkap Koster.
Kepala Kejati Bali Ketut Sumedana menegaskan, penerapan keadilan restoratif tetap akan mengacu pada aturan hukum yang berlaku, termasuk batasan jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui mekanisme ini.
“Kalau korupsi, nggak bisa (keadilan restoratif). Tetap kami proses. Nggak ada kaitannya dengan desa adat karena (menyangkut) kerugian negara,” ujar Sumedana.
Sumedana menyebut, proses awal penyelesaian perkara akan melibatkan perangkat desa adat. Jika perkara bersifat sederhana dan para pihak sepakat, kejaksaan hanya berperan sebagai fasilitator.
Namun, jika konstruksi hukum kompleks atau tidak tercapai kesepakatan, perkara tetap dapat diajukan ke pengadilan, seperti pada kasus gugatan perdata.
“Tapi kalau dapat diselesaikan desa adat, cukup sampai di sana,” tuturnya.