Bagi sebagian pegiat bisnis ayam, mungkin akan memilih bertahan menjalankan bisnis ayam petelur sebagai peluang yang menjanjikan. Berbeda dengan I Gusti Ketut Adi Putra. Ia memilih menggeluti bisnis yang tak biasa atau terdengar asing, yakni bisnis ayam khusus caru.
Peternak asal Banjar Keraman, Desa Abiansemal, Badung, itu terbilang jeli melihat segmen pasar. Sebab, peternak ayam caru terbilang langka dan ayam dengan bulu berbagai warna itu amat dibutuhkan untuk keperluan mecaru, salah satu kegiatan upacara di Bali.
Mengawali bisnis dengan membuat kandang kecil sejak 2018, pria yang akrab disapa Ngurah Dipa itu kini membentuk kelompok yang anggotanya berasal dari berbagai daerah di Bali. Omzetnya bisa mencapai ratusan juta per bulan.
“Dahulu orang cari ayam khusus untuk upacara pecaruan (caru) itu terbilang sulit karena sedikit. Tantangannya banyak karena ayam harus dijaga supaya tidak sampai mati sebelum dipakai pas hari H. Pesannya juga harus jauh-jauh hari, itupun kalau dapat,” tutur Ngurah Dipa ditemui di kandangnya, Minggu petang (13/7/2025).
Produksi bibit ayam caru yang waktu itu masih sedikit menggerakkan hati Ngurah Dipa untuk mengembangkan usahanya sendiri. Ia membentuk kelompok ternak bernama Manik Lestari Farm. Ia menjadi ketua kelompoknya, diikuti 11 orang lain sebagai anggota.
Ngurah Dipa mengalami sulitnya mendapatkan bibit ayam khusus ini untuk kemudian dikembangbiakkan. Butuh waktu sekitar 2-3 bulan untuk mendapatkan bibit ayam caru dari peternak lain. Perlahan, bisnisnya mendapat kepercayaan dari banyak pihak.
Pesanan datang dari Kintamani, Gianyar, Klungkung, dan Tabanan, termasuk Badung. Ngurah Dipa mampu memenuhi 2.000 sampai 3.000 ekor ayam per bulan saat awal-awal berbisnis. Menurut Ngurah Dipa, segmentasi pasar ayam brumbun ini tergolong khusus, karena hanya dibeli untuk keperluan upacara.
“Tetapi pelaksanaannya (mecaru) tidak pernah berhenti di mana pun. Khususnya jelang Nyepi. Yang beli itu bisa oleh kalangan yang khusus membuat banten di gria-gria (kediaman pendeta) atau orang-orang yang menggelar upacara. Bisa juga dijual di pasar hewan,” jelas Ngurah Dipa.
Ngurah Dipa terbilang giat dan rajin mengikuti pelatihan. Setelah merasa cukup, ia berhenti membeli bibit di tempat lain dan memulai memproduksi bibit ayamnya sendiri dengan teknik inseminasi buatan (IB).
Ngurah Dipa membuat beberapa indukan ayam brumbun. Telurnya kemudian ditetaskan dengan mesin modern. Warna bulu yang ingin dihasilkan pun bisa diatur, misalkan ingin warna hitam, barak biying (merah pekat/darah) dan brumbun (campuran cokelat, hitam, keputihan hingga sedikit kehijauan).
“Yang paling laris itu cetak ayam hitam dan brumbun. Itu yang paling laris. Jadi pakai IB, bisa setting warna bulunya sejak proses. Mau cetak hitam, brumbun dan sebagainya. Mau cetak jumlah berapa bisa,” kata pria berkumis itu.
Ngurah Dipa mengakui tidak butuh kandang yang besar di rumahnya. Ia hanya memiliki sekitar 6 kandang yang satu kandangnya memiliki lebar sekitar 1,5 meter dan bertingkat tiga. Di samping itu, dengan sistem kelompok, semua anggota bisa memproduksi bibit dan penjualan dilakukan sistem satu pintu.
“Semua anggota sudah dilatih teknik IB. Saya wajib ambil hasilnya langsung memasarkan. Jadi anggota sudah nggak bingung lagi setelah sebulan, ke mana harus jual seandainya permintaan sepi, khawatir rugi dan sebagainya,” tutur Ngurah Dipa.
Untuk perawatan, Ngurah memberikan pakan pabrikan sejak menetas hingga usia satu bulan agar kebutuhan protein ayam tetap terjaga, termasuk vaksinasi dan penjagaan suhu kandang. Pakan racikan seperti campuran pakan ternak dengan dedak, jagung halus dan lainnya baru diberi saat ayam berusia di atas enam minggu.
“Ayam caru itu sebenarnya sudah bisa dijual sejak umur 21 hari. Nah ada pertanyaan kalau misalnya ada ayam yang belum laku, apakah rugi? Ukuran makin besar seiring umur, itu tetap bisa dijual untuk jual daging ayam,” tegas Ngurah Dipa.
Ngurah menjual ayam caru Rp 20.000 per ekor dengan angka penjualan per bulan rata-rata bisa habis 8.000 ekor. Ngurah mengaku puas setelah mampu memberikan solusi bahwa ayam caru sekarang tidak lagi sulit didapat. Ia juga konsisten secara kontinu setiap bulan ada panen bibit.
“Kalau dahulu itu susah. Orang sudah jauh hari memesan karena takut mendekati hari H upacara tidak ada yang jual. Celakanya, saking lamanya dipelihara, salah memelihara, salah memberi pakan, mati, malah sulit cari lagi. Kapan pun butuh, ada. Berapa butuh, jumlahnya, tanggal sekian diambil, ada. Saya ada rasa puas,” jelas Ngurah Dipa.