Pasangan suami istri Harisatul Khumairoh dan Yanto Dwi Cahyono tak pernah menyangka bisa meraup cuan dan hidup dari menjual daster. Bermodal iseng membuka usaha, kini omzet bulanan mereka dari menjual daster berbahan rayon bisa mencapai Rp 900 juta.
“Saya punya target, tahun depan bisa up di Rp 1 miliar lebih,” ucap Yanto saat ditemui di rumah produksi mereka di Pedungan, Denpasar, Bali, Jumat (25/7/2025).
Yanto menuturkan dirinya mulai mencoba berjualan secara daring sejak pandemi COVID-19 pada 2020. Ia bahkan mengambil langkah cukup berani karena memutuskan untuk berhenti bekerja (resign) dari perusahaan. Ia bersama istri pun mulai menjual produk yang diambil dari kakaknya.
Tak disangka, produk daster mereka diminati pembeli. Yanto dan Harisa kemudian membuka toko sendiri seiring bertumbuhnya reseller mereka yang mengirim paket dalam jumlah besar.
“Kami menjual daster, piyama, kulot, terus long dress, dan hot pants. Sasarannya perempuan, ibu-ibu. Kalau saya analisa nih, sebenarnya daster itu selalu dipakai tiap hari,” tutur Yanto.
Sekitar lima bulan membuka toko, performa jualan Yanto dan istri terlihat semakin menjanjikan. Pada awal 2021, mereka memutuskan untuk membangun rumah produksi dan gudang penyimpanan. Meski belum mampu membeli lahan sendiri, mereka tetap berproduksi secara mandiri.
Meski begitu, usaha Yanto dan istri tak berjalan mulus. Dalam perjalanan, mereka menghadapi permasalahan internal lantaran kakak kandung yang menjadi rekan produksi tidak mampu memenuhi permintaan produk. Omzet yang semula mencapai Rp 1,7 miliar per bulan tiba-tiba anjlok hingga tinggal Rp 100 juta.
“Kami sempat stagnan hampir satu tahun. Jadi, usaha ini memang ada naik turunnya,” imbuh pria 37 tahun itu.
Masalah tak hanya datang dari sisi produksi. Yanto dan Harisa juga sempat terkendala modal. Pada 2023, mereka menjadikan mobil pribadi sebagai jaminan untuk mengajukan kredit usaha rakyat (KUR).
“Uangnya kami belikan kain, merintis lagi,” kenang Yanto.
Usaha keras mereka membuahkan hasil. Perlahan-lahan, usaha berjualan daster mereka bangkit kembali. Yanto dan istri menyewa tempat yang dijadikan pabrik di Solo, Jawa Tengah.
Proses jahit dan pengemasan dilakukan di tiga rumah kontrakan yang mereka fungsikan sebagai kantor, tempat produksi, serta pusat pengiriman. Mereka juga mempekerjakan sekitar 50 orang sebagai penjahit, tukang potong kain, hingga bagian pengemasan.
“Kami memang belum beli aset, cuma kami lebih nambah modal. Kayak contoh, bikin pabrik sendiri,” kata Yanto.
Produk daster Yanto dan istri diminati oleh pembeli dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, mereka tak jarang mendapat pesanan dari luar negeri.
“Pengiriman Shopee ke luar negeri ada Malaysia dan Singapura. Kalau untuk di dalam negeri, sampai Merauke, seluruh Indonesia,” tutur Yanto.
Harisa dan Yanto bisa mengirim 600 paket daster dalam sehari. Jika satu paket berisi tiga potong daster, berarti mereka mengirim sekitar 1.500 potong pakaian setiap harinya.
Harisa mengakui ketatnya persaingan produk fesyen di pasar online, termasuk dari segi harga. Meki begitu, Harisa tidak mau berpatokan penuh pada harga kompetitor. Mereka memilih inovatif dalam berjualan, misalkan dengan mengadakan promo.
“Jadi untuk kompetitor di e-commerce, jual murah atau jual mahal juga laku,” ujar Harisa.
Tak Berjalan Mulus
Produk Dijual hingga ke Luar Negeri
Meski begitu, usaha Yanto dan istri tak berjalan mulus. Dalam perjalanan, mereka menghadapi permasalahan internal lantaran kakak kandung yang menjadi rekan produksi tidak mampu memenuhi permintaan produk. Omzet yang semula mencapai Rp 1,7 miliar per bulan tiba-tiba anjlok hingga tinggal Rp 100 juta.
“Kami sempat stagnan hampir satu tahun. Jadi, usaha ini memang ada naik turunnya,” imbuh pria 37 tahun itu.
Masalah tak hanya datang dari sisi produksi. Yanto dan Harisa juga sempat terkendala modal. Pada 2023, mereka menjadikan mobil pribadi sebagai jaminan untuk mengajukan kredit usaha rakyat (KUR).
“Uangnya kami belikan kain, merintis lagi,” kenang Yanto.
Usaha keras mereka membuahkan hasil. Perlahan-lahan, usaha berjualan daster mereka bangkit kembali. Yanto dan istri menyewa tempat yang dijadikan pabrik di Solo, Jawa Tengah.
Proses jahit dan pengemasan dilakukan di tiga rumah kontrakan yang mereka fungsikan sebagai kantor, tempat produksi, serta pusat pengiriman. Mereka juga mempekerjakan sekitar 50 orang sebagai penjahit, tukang potong kain, hingga bagian pengemasan.
“Kami memang belum beli aset, cuma kami lebih nambah modal. Kayak contoh, bikin pabrik sendiri,” kata Yanto.
Tak Berjalan Mulus
Produk daster Yanto dan istri diminati oleh pembeli dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, mereka tak jarang mendapat pesanan dari luar negeri.
“Pengiriman Shopee ke luar negeri ada Malaysia dan Singapura. Kalau untuk di dalam negeri, sampai Merauke, seluruh Indonesia,” tutur Yanto.
Harisa dan Yanto bisa mengirim 600 paket daster dalam sehari. Jika satu paket berisi tiga potong daster, berarti mereka mengirim sekitar 1.500 potong pakaian setiap harinya.
Harisa mengakui ketatnya persaingan produk fesyen di pasar online, termasuk dari segi harga. Meki begitu, Harisa tidak mau berpatokan penuh pada harga kompetitor. Mereka memilih inovatif dalam berjualan, misalkan dengan mengadakan promo.
“Jadi untuk kompetitor di e-commerce, jual murah atau jual mahal juga laku,” ujar Harisa.