Kisah Istri Kanya, Pahlawan dengan Julukan Wanita Besi dari Bali

Posted on

I Dewa Agung Istri Kanya bukan sekadar tokoh kerajaan, melainkan simbol keberanian, kepemimpinan, dan dedikasi perempuan Bali terhadap tanah air dan budaya. Lahir pada tahun 1799 sebagai putri dari Ida I Dewa Agung Putra Kusamba, Istri Kanya menorehkan sejarah sebagai pemimpin pasukan dalam Perang Kusamba tahun 1849, di mana ia berhasil memukul mundur pasukan kolonial Belanda.

Dalam Perang Kusamba, I Dewa Agung Istri Kanya tampil sebagai panglima perang yang gagah berani. Ia menolak keras campur tangan kolonial dalam urusan adat dan budaya masyarakat Bali.

Penolakan terhadap intervensi Belanda, termasuk terhadap Hak Tawan Karang-hak tradisional atas kapal yang karam di wilayah Bali-menunjukkan keteguhan sikapnya mempertahankan kedaulatan budaya lokal.

Istri Kanya bukan hanya andal dalam strategi militer, ia juga piawai memanfaatkan pasukan khusus Sikep Pemating-kelompok prajurit pemberani yang siap mati demi negara-serta senjata tradisional seperti meriam I Tagog. Kombinasi antara keberanian dan kecerdasan taktis menjadikan kepemimpinannya begitu disegani.

Keputusan I Dewa Agung Istri Kanya untuk tidak menikah sepanjang hidupnya adalah bentuk pengabdian total kepada rakyat dan kerajaannya. Dari pilihan hidup inilah muncul gelar ‘Istri Kanya’, yang berarti perempuan suci atau perempuan yang melajang seumur hidup. Belanda bahkan menjulukinya sebagai ‘Wanita Besi’ karena ketangguhan dan konsistensinya sebagai pemimpin.

Ia juga dikenal sebagai Dewa Agung Istri Balemas, dan sering dijuluki Srikandi dari Bali atas perannya dalam peperangan yang lazimnya didominasi laki-laki. Namun kiprahnya tidak berhenti di medan tempur.

Di bidang sastra, Istri Kanya menggunakan nama pena Naranatha-Kanya, yang bermakna ‘pemimpin manusia yang tidak menikah’. Ia aktif menulis karya-karya sastra klasik Bali yang menggambarkan situasi politik dan batin masyarakat kala itu.

Beberapa karyanya antara lain:

Ia juga menguasai berbagai bentuk tembang wirama seperti Sarddhula, Sragdhara, dan Cikarini, sehingga dijuluki sebagai Raja Kawi. Peranannya sebagai pelindung seniman dan intelektual Bali menunjukkan kepekaan budaya yang tinggi, serta menjadikannya tokoh budayawan perempuan terkemuka dalam sejarah Bali.

Meskipun namanya tidak sepopuler tokoh perjuangan nasional seperti I Gusti Ngurah Rai, upaya untuk mengenang jasa I Dewa Agung Istri Kanya terus dilakukan. Di Klungkung, dibangun monumen peringatan sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi dan perjuangannya.

Perannya sebagai pemimpin, pejuang, dan budayawan mengukuhkan posisi I Dewa Agung Istri Kanya sebagai simbol ketangguhan perempuan Bali. Ia menunjukkan bahwa perempuan dapat menjadi garda terdepan dalam perjuangan, tidak hanya di medan tempur, tetapi juga dalam membangun pemikiran, budaya, dan kemanusiaan.

Pemimpin Perempuan di Medan Perang

Perempuan, Ratu, dan Sastrawan

Menulis Sastra, Merawat Budaya

Warisan dan Penghormatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *