Kemeriahan Pemilu Australia: Pemilih Dapat Sosis Panggang-Tanpa Masa Tenang

Posted on

Suasana demokrasi terlihat jelas di Australia saat pemilihan umum (pemilu) berlangsung, terutama di kota Melbourne, Sabtu (3/5/2025). Semarak pemilu Australia juga dirasakan oleh warga internasional, termasuk pelajar Indonesia yang belajar di sana, meski hanya warga negara yang berhak mencoblos.

Salah satunya adalah Naufal Hafizh, mahasiswa S2 jurusan Food Science di University of Melbourne. Sudah satu tahun tinggal di Australia, Naufal antusias mengikuti perkembangan politik negeri ini, meski dari balik layar.

“Aku ngikutin dari channel berita kayak Nine, Seven News, ABC, dan juga dari YouTube. Beberapa vlogger juga banyak yang bahas soal proses pemilu dan kebijakan para kandidat,” ceritanya saat dihubungi tim infoBali, Sabtu (3/5/2025).

Naufal sempat melihat langsung Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ia menyebut pemerintah Australia melakukan early vote seminggu sebelum hari H pemilu.

“Jadi warga bisa memilih selain tanggal itu (sebelum hari H) mungkin untuk mengakomodasi buat yang tidak bisa tanggal 3 atau menghindari penumpukan pemilih,” jelas pria 27 tahun itu.

Hal unik lain yang menarik perhatian Naufal adalah ‘democracy sausage’. Di mana relawan memasak dan membagikan sosis dan hotdog gratis kepada para pemilih.

“Jadi setelah memilih itu ada sukarelawan TPS-nya yang masakin barbeque. Dia masak sosis dan bikin hotdog yang nanti akan diberikan kepada pemilih,” katanya.

Naufal menyoroti perbedaan signifikan dalam hal kampanye yang tetap berlangsung pada hari H pemungutan suara. Berbeda di Indonesia yang terdapat masa tenang Pemilu.

“Nggak ada masa tenang. Aku lihat relawan dari calon PM (perdana menteri) atau senator masih bagi-bagi brosur di depan TPS,” jelasnya. Namun menurutnya, kampanye pada hari H Pemilu Australia hanya bersifat persuasif.

Naufal menjelaskan perbedaan utama dalam Pemilu Australia adalah sistem preferential voting. Di mana pemilih menuliskan urutan preferensi dari kandidat.

“Jadi kalau pilihan pertama kalah, suaranya nggak langsung hangus, bisa dialihkan ke pilihan berikutnya. Jadi suaranya tetap berkontribusi sampai ketemu kandidat yang menang,” paparnya.

Sementara itu, Rian Elham, mahasiswa S2 Development Studies di di University of Melbourne, merasakan atmosfer pemilu ketika mengunjungi TPS di Melbourne bersama temannya. “Menurut aku di sini masyarakatnya cukup antusias. Aku sendiri datang jam 12 siang masih ramai. TPS-nya dibantu LSM lokal seperti Rotary Club,” ujarnya.

Rian menilai TPS di Australia bersifat lebih fleksibel. Warga Aussie tidak harus datang ke TPS yang ditunjuk, melainkan bisa memberikan hak suaranya di manap un berada.

“Aku asumsikan datanya sudah terintegrasi, sih. Nggak terlalu ribet mengurus surat,” tambahnya.

Rian juga terkesan dengan cara masyarakat Australia mengekspresikan pilihan politik mereka. Ia juga mengamati bahwa perbedaan ideologi partai cukup jelas, mulai dari konservatif hingga progresif.

“Partainya ada Labour, Liberal, Green, sampai Independen. Masyarakat sini nggak ragu menyatakan ideologinya. Bahkan aktor dan influencer pun terang-terangan menyatakan dukungan politik mereka. Mereka tidak terlalu baper,” ujar Rian.

Rian tertarik dengan alat bantu yang disebut Vote Compass. Alat ini semacam kuesioner online yang membantu pemilih menemukan partai yang paling cocok berdasarkan pandangan politik dan isu yang mereka pedulikan.

“Bahwa dari pers di sini juga membantu masyarakat untuk menentukan pilihan berdasarkan preferensi politik. Jadi mereka itu kayak mengisi kuesioner di suatu media, nanti tergambar profil mereka cocoknya partai apa. Ibaratnya seperti kita milih MBTI,” urainya.

Meski tak bisa ikut memilih, Naufal maupun Rian berharap pemimpin terpilih dapat membawa kebaikan bagi Australia. Sekaligus memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia.

“Harapannya, perdana menteri atau politisi yang terpilih bisa membangun hubungan yang lebih erat antara dua negara tetangga ini. Australia dan Indonesia sudah sering bekerja sama di bidang pariwisata, pendidikan, hingga budaya dan ekonomi. Terutama di bidang pendidikan, pertukaran pelajar dan kerja sama akademik bisa lebih dipermudah,” ujar Rian.