Warga seantero Pulau Lombok dibuat heboh oleh Deni alias Dea Lipa. Musababnya, pria yang berprofesi sebagai penata rias atau make up artist (MUA) itu berdandan bak perempuan. Mantan klien pun tak menyangka bahwa Dea Lipa yang selama ini dikira perempuan, ternyata seorang lelaki.
Bahkan, ada warganet yang mengaku adik laki-lakinya pernah berpacaran dengan pria asal Desa Mujur, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu. Belakangan, warganet menjuluki Deni sebagai Sister Hong versi Lombok.
Kepala Desa (Kades) Mujur, Junaidi, membenarkan bahwa Deni adalah warganya. Berdasarkan informasi yang diterimanya dari kepada dusun (kadus), Deni bersolek seperti perempuan karena sempat depresi dan tuntutan pekerjaan sebagai MUA.
“Tadi malam saya telepon Pak Kadus-nya untuk bisa dipertemukan dengan yang bersangkutan. Tetapi, pengakuan dari Pak Kadus, dia waktu itu depresi,” kata Junaidi, Kamis (13/11/2024).
Selain depresi, Deni disebut melakoni gaya berpakaian bak perempuan dengan selalu mengenakan hijab karena tuntutan pekerjaan. Namun, Junaidi menilai hal itu sangat berlebihan.
“Mungkin dia lagi depresi dengan masalah apa, mungkin karena berlebihan sehingga pake kostum seperti perempuan. Memang sudah lama, tetapi memang profesinya kan seperti itu dia sebagai tata rias,” ungkap Junaidi.
Meski berpakaian perempuan, selama ini Deni tidak pernah bermasalah dengan warga desa. Junaidi menyebut mayoritas pengguna jasa MUA yang bersangkutan sudah mengetahui bahwa Dea Lipa adalah seorang lelaki.
“Ndak ada yang ditipu dan segala macam, ndak pernah saya dengar itu. Dan yang dirias ini rata-rata tahu dia laki,” tegas Junaidi.
Junaidi mengaku sempat ditelepon Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Praya Timur setelah foto-foto Deni yang berpose bak perempuan viral di media sosial. Menurutnya, banyak yang bertanya terkait foto-foto Deni itu.
“Memang banyak yang nelpon, termasuk kemarin sore Pak KUA Praya Timur juga nelpon terkait dengan itu,” imbuh Junaidi.
Junaidi berencana mengumpulkan seluruh keluarga besar Deni. Ia berharap pertemuan itu juga dihadiri oleh yang bersangkutan dan menjelaskan permasalahan yang dialami.
“Kami berencana akan kumpulkan keluarga, kalau bisa dia juga dihadirkan. Tetapi, sekarang masih dirawat di rumah keluarga di Lombok Barat,” jelas Junaidi.
Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) NTB mengecam aksi kamuflase yang dilakukan Deni alias Dea Lipa. PWNU menilai tindakan Deni yang berpenampilan seperti perempuan itu sebagai sebuah penyimpangan.
“Hal seperti ini tidak bisa dibenarkan. Penyimpangan seperti ini tidak bisa ditolerir,” kata Sekertaris PWNU NTB, Lalu Daud Nurjadi, Kamis.
Daud mengungkapkan pria asal Lombok Tengah itu memerlukan penanganan serius dengan cara diberikan pendampingan dan pembinaan. Ia khawatir gaya hidup Deni akan menginspirasi pria lainnya untuk berpenampilan seperti perempuan.
“Ini penyakit yang perlu kita berikan edukasi dan pembinaan supaya hal seperti ini tidak meluas. Karena hal seperti ini tidak akan sampai di situ saja. Ini akan menimbulkan penyakit fisik yang lain, bahkan bisa ke LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender),” imbuhnya.
Menurut Daud, seorang penata rias pria tak perlu berpenampilan seperti perempuan. Ia menyebut banyak laki-laki yang berprofesi sebagai perias wajah tanpa berkamuflase dengan menampilkan diri seperti perempuan.
“Penata rias ini kan bukan hanya cewek. Banyak kok cowok dengan penampilan seperti cowok pada umumnya, tetap ramai kok,” ujar Daud.
“Seperti Ivan Gunawan, kan tetap menjadi cowok. Tidak perlu mengubah penampilan menjadi cewek,” sambungnya.
Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) NTB juga menyampaikan keprihatinan terhadap aksi kamuflase yang dilakukan Deni alias Dea Lipa. GP Ansor mendorong penanganan terhadap fenomena Sister Hong Lombok itu menghindari persekusi atau kebencian.
“Dalam pandangan fiqih Islam dan etika sosial, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan fitrah manusia serta nilai-nilai adab dan kesopanan yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia,” kata Ketua PW GP Ansor NTB, Irpan Suriadiata, Kamis.
Irpan menilai fenomena ini bukan sekadar ekspresi atau gaya hidup semata, tetapi telah menyentuh ranah moral, sosial, dan keagamaan. Irpan menyatakan bahwa Islam telah memberikan batas yang jelas antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam penampilan maupun perilaku.
“Rasulullah SAW secara tegas melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Fenomena semacam ini bukan saja melanggar ajaran agama, tetapi juga berpotensi merusak moral publik dan menyesatkan generasi muda,” kata Irpan.
“Sementara dari perspektif sosial, kami menilai fenomena ini dapat menimbulkan kebingungan identitas, mengaburkan nilai moral, serta membuka ruang bagi penyalahgunaan identitas di ruang publik dan digital,” imbuh Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB itu.
Irpan menjelaskan kebebasan berekspresi tetap harus berada dalam koridor norma agama, moral, dan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J UUD 1945. Meski begitu, dia berujar, penanganan terhadap fenomena ini tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kasar atau penuh kebencian.
“Sebaliknya, diperlukan pendekatan dakwah kultural dan edukatif agar masyarakat, terutama generasi muda, memahami batas antara ekspresi hiburan dan pelanggaran moral,” ungkap Irpan.
“Ansor menyerukan agar pendekatan terhadap pelaku dilakukan dengan cara yang santun, melalui nasihat, pembinaan, dan pendidikan keagamaan yang mencerahkan, bukan dengan persekusi atau kebencian,” pungkasnya.
Alami Depresi
PWNU Kecam Aksi Kamuflase Deni
GP Ansor Minta Hindari Persekusi
“Mungkin dia lagi depresi dengan masalah apa, mungkin karena berlebihan sehingga pake kostum seperti perempuan. Memang sudah lama, tetapi memang profesinya kan seperti itu dia sebagai tata rias,” ungkap Junaidi.
Meski berpakaian perempuan, selama ini Deni tidak pernah bermasalah dengan warga desa. Junaidi menyebut mayoritas pengguna jasa MUA yang bersangkutan sudah mengetahui bahwa Dea Lipa adalah seorang lelaki.
“Ndak ada yang ditipu dan segala macam, ndak pernah saya dengar itu. Dan yang dirias ini rata-rata tahu dia laki,” tegas Junaidi.
Junaidi mengaku sempat ditelepon Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Praya Timur setelah foto-foto Deni yang berpose bak perempuan viral di media sosial. Menurutnya, banyak yang bertanya terkait foto-foto Deni itu.
“Memang banyak yang nelpon, termasuk kemarin sore Pak KUA Praya Timur juga nelpon terkait dengan itu,” imbuh Junaidi.
Junaidi berencana mengumpulkan seluruh keluarga besar Deni. Ia berharap pertemuan itu juga dihadiri oleh yang bersangkutan dan menjelaskan permasalahan yang dialami.
“Kami berencana akan kumpulkan keluarga, kalau bisa dia juga dihadirkan. Tetapi, sekarang masih dirawat di rumah keluarga di Lombok Barat,” jelas Junaidi.
Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) NTB mengecam aksi kamuflase yang dilakukan Deni alias Dea Lipa. PWNU menilai tindakan Deni yang berpenampilan seperti perempuan itu sebagai sebuah penyimpangan.
“Hal seperti ini tidak bisa dibenarkan. Penyimpangan seperti ini tidak bisa ditolerir,” kata Sekertaris PWNU NTB, Lalu Daud Nurjadi, Kamis.
Daud mengungkapkan pria asal Lombok Tengah itu memerlukan penanganan serius dengan cara diberikan pendampingan dan pembinaan. Ia khawatir gaya hidup Deni akan menginspirasi pria lainnya untuk berpenampilan seperti perempuan.
“Ini penyakit yang perlu kita berikan edukasi dan pembinaan supaya hal seperti ini tidak meluas. Karena hal seperti ini tidak akan sampai di situ saja. Ini akan menimbulkan penyakit fisik yang lain, bahkan bisa ke LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender),” imbuhnya.
Menurut Daud, seorang penata rias pria tak perlu berpenampilan seperti perempuan. Ia menyebut banyak laki-laki yang berprofesi sebagai perias wajah tanpa berkamuflase dengan menampilkan diri seperti perempuan.
“Penata rias ini kan bukan hanya cewek. Banyak kok cowok dengan penampilan seperti cowok pada umumnya, tetap ramai kok,” ujar Daud.
“Seperti Ivan Gunawan, kan tetap menjadi cowok. Tidak perlu mengubah penampilan menjadi cewek,” sambungnya.
PWNU Kecam Aksi Kamuflase Deni
Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) NTB juga menyampaikan keprihatinan terhadap aksi kamuflase yang dilakukan Deni alias Dea Lipa. GP Ansor mendorong penanganan terhadap fenomena Sister Hong Lombok itu menghindari persekusi atau kebencian.
“Dalam pandangan fiqih Islam dan etika sosial, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan fitrah manusia serta nilai-nilai adab dan kesopanan yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia,” kata Ketua PW GP Ansor NTB, Irpan Suriadiata, Kamis.
Irpan menilai fenomena ini bukan sekadar ekspresi atau gaya hidup semata, tetapi telah menyentuh ranah moral, sosial, dan keagamaan. Irpan menyatakan bahwa Islam telah memberikan batas yang jelas antara laki-laki dan perempuan, termasuk dalam penampilan maupun perilaku.
“Rasulullah SAW secara tegas melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Fenomena semacam ini bukan saja melanggar ajaran agama, tetapi juga berpotensi merusak moral publik dan menyesatkan generasi muda,” kata Irpan.
“Sementara dari perspektif sosial, kami menilai fenomena ini dapat menimbulkan kebingungan identitas, mengaburkan nilai moral, serta membuka ruang bagi penyalahgunaan identitas di ruang publik dan digital,” imbuh Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) NTB itu.
Irpan menjelaskan kebebasan berekspresi tetap harus berada dalam koridor norma agama, moral, dan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J UUD 1945. Meski begitu, dia berujar, penanganan terhadap fenomena ini tidak boleh dilakukan dengan cara-cara kasar atau penuh kebencian.
“Sebaliknya, diperlukan pendekatan dakwah kultural dan edukatif agar masyarakat, terutama generasi muda, memahami batas antara ekspresi hiburan dan pelanggaran moral,” ungkap Irpan.
“Ansor menyerukan agar pendekatan terhadap pelaku dilakukan dengan cara yang santun, melalui nasihat, pembinaan, dan pendidikan keagamaan yang mencerahkan, bukan dengan persekusi atau kebencian,” pungkasnya.
