Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Nusa Tenggara Timur (NTT), Zet Tadung Alo, mengungkapkan konsep pemulihan keuangan maupun aset negara selama ini belum efektif. Ia menilai diperlukan penerapan Deferred Prosecution Agreement (DPA) sebagai instrumen hukum baru yang dapat menyeimbangkan keadilan retributif dan restoratif.
“DPA ini sebuah konsep yang disadari oleh dunia peradilan bahwa pemulihan keuangan dan aset negara selama ini tidak efektif. Sehingga konsep ini dikuatkan dan bahkan mendapat persetujuan untuk masuk dalam RPJMM 2025 ke depannya,” ujar Zet seusai Seminar Ilmiah bertajuk Optimalisasi Pendekatan Follow The Asset dan Follow The Money Melalui DPA Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana, di Aula El Tari Kantor Gubernur NTT, Senin (25/8/2025).
Zet menjelaskan, DPA merupakan konsep yang mengedepankan pemulihan aset dan keuangan negara dalam tindak pidana yang melibatkan korporasi. Tujuannya agar entitas negara dapat meminimalkan dampak negatif dari pelanggaran hukum.
“Kooporasi juga apabila melanggar satu ketentuan pidana, maka dikenakan sanksi berat ketika susah di pengadilan berupa pencabutan izin,” jelas Zet.
Menurutnya, negara perlu mempertimbangkan dampak pelanggaran korporasi yang bisa merugikan masyarakat, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), eksploitasi, hingga gugatan hukum.
“Sehingga konsep DPA ini sebuah solusi dalam upaya memaksimalkan pengembalian aset negara,” katanya.
Meski demikian, Zet mengakui konsep DPA belum memiliki pedoman pelaksanaan di NTT. Untuk itu, pihaknya tetap memaksimalkan pengembalian keuangan negara dalam setiap penanganan kasus korupsi.
“Setiap perkara korupsi yang ditangani tidak bisa P21 atau dinyatakan lengkap apabila tidak ada pengembalian kerugian negara berupa penyitaan maupun pemblokiran aset,” terang Zet.
Ia menegaskan, Kejati NTT berkomitmen agar penyelesaian kerugian keuangan negara bisa dicapai secara maksimal.
“Memang tidak mudah, makanya konsep DPA ini muncul karena pada kenyataannya berpuluh-puluh tahun praktik peradilan pidana dalam penanganan korupsi belum maksimal dalam hal pemulihan keuangan negara,” pungkas Zet.
Menurutnya, negara perlu mempertimbangkan dampak pelanggaran korporasi yang bisa merugikan masyarakat, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), eksploitasi, hingga gugatan hukum.
“Sehingga konsep DPA ini sebuah solusi dalam upaya memaksimalkan pengembalian aset negara,” katanya.
Meski demikian, Zet mengakui konsep DPA belum memiliki pedoman pelaksanaan di NTT. Untuk itu, pihaknya tetap memaksimalkan pengembalian keuangan negara dalam setiap penanganan kasus korupsi.
“Setiap perkara korupsi yang ditangani tidak bisa P21 atau dinyatakan lengkap apabila tidak ada pengembalian kerugian negara berupa penyitaan maupun pemblokiran aset,” terang Zet.
Ia menegaskan, Kejati NTT berkomitmen agar penyelesaian kerugian keuangan negara bisa dicapai secara maksimal.
“Memang tidak mudah, makanya konsep DPA ini muncul karena pada kenyataannya berpuluh-puluh tahun praktik peradilan pidana dalam penanganan korupsi belum maksimal dalam hal pemulihan keuangan negara,” pungkas Zet.