Nike Nurul Hikmah (41), seorang ibu rumah tangga asal Tasikmalaya, Jawa Barat, dituntut dua tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar dalam sidang kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Ia didakwa memberangkatkan lima perempuan asal Indonesia ke Dubai secara ilegal untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Ia terbukti bersalah melanggar Pasal 83 juncto Pasal 68 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan alternatif ketiga.
“Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 2 tahun, dikurangi seluruhnya selama terdakwa ditahan dan didenda sebesar Rp 1 miliar,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU), Pradewa Ariakhbar, Selasa (8/7/2025). Jika tidak bisa membayar denda, maka diganti dengan hukuman penjara selama 3 bulan penjara.
Dalam pertimbangannya, JPU menyebut hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa yang meresahkan masyarakat dan menimbulkan rasa takut di kalangan calon pekerja migran. Namun, JPU juga mencatat sejumlah hal yang meringankan, seperti sikap sopan, tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan, pengakuan atas perbuatannya, serta penyesalan dan janji untuk tidak mengulangi perbuatannya. Nike juga disebut sebagai tulang punggung keluarga yang menanggung anak dan orang tua.
Kronologi Kasus
Kasus ini bermula pada Januari 2025, saat Nike sedang berada di Dubai dan berkenalan dengan seorang perempuan bernama Rika. Melalui Rika, pada Februari 2025, Nike kemudian diperkenalkan kepada Zaki, seorang pria yang kini berstatus sebagai buron (DPO).
Keduanya saling bertukar media sosial. Zaki lalu meminta Nike membantu memberangkatkan lima perempuan sebagai pekerja rumah tangga ke Dubai.
Nike menyanggupi permintaan tersebut dan menerima uang Rp 13 juta serta tambahan Rp 1 juta dari Zaki untuk mengatur keberangkatan calon imigran. Nike mendapatkan identitas korban di antaranya Nenden Famayanti, Yati Nurhayati, Wiwin Wintarsih, Sania Nurlela, dan Tuti Sukasti.
Nike juga menerima KTP para korban untuk bisa mengurus keberangkatannya ke Denpasar. Tiga orang pertama yakni Nenden, Yati, dan Wiwin diberangkatkan terlebih dahulu ke Pulau Dewata lalu dijemput langsung oleh Nike di Bandara I Gusti Ngurah Rai.
Setibanya di Bali, ketiga korban diajak untuk menginap di Sutting Hostel, Kuta, Badung. Dua hari kemudian, Sania dan Tuti menyusul ketiga korban, tapi yang menjemput Susilawati, teman Nike atas permintaan terdakwa.
“Keduanya langsung dibawa ke penginapan untuk bergabung dengan rombongan lain,” ungkap JPU.
Nike berencana memberangkatkan seluruh korban dari Bali menuju Singapura pada 6 Februari 2025 lalu membeli tiket lanjutan menuju Dubai. Nahas, rencana terdakwa gagal setelah petugas Imigrasi I Gede Mario Mahadiyasa mencurigai dokumen perjalanan dan gerak-gerik mereka di terminal keberangkatan Bandara Internasional Gusti Ngurah Rai.
Nike dan kelima korban dicegah dan diarahkan ke manual gate untuk dilakukan pemeriksaan dari petugas Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
“Mereka lalu dibawa ke kantor untuk pemeriksaan dan diserahkan ke Polres Kawasan Bandara I Gusti Ngurah Rai,” imbuh JPU.
JPU menuturkan Nike bukan orang yang memiliki kewenangan melakukan perekrutan maupun penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Ia juga bukan bagian dari perusahaan resmi penyalur tenaga kerja.
Rencana terdakwa dilakukan secara ilegal tanpa dokumen perjalanan yang sah bahkan Nike tidak memiliki visa kerja dan tidak dilengkapi dokumen sesuai aturan. Nike dalam kasus ini, turut mengambil keuntungan pribadi.
Nike disebut memiliki rencana untuk menitipkan barang dagangannya ke bagasi milik para korban untuk menghemat biaya pengiriman barang. Sedangkan secara regulasi, jika menyewa bagasi, ia harus mengocek dana sebesar Rp 39 juta.