Sejumlah pengelola hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), mendapatkan surat tagihan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait royalti musik. Hotel-hotel tersebut dikemplang dengan nominal beragam, mulai dari Rp 2 juta hingga belasan juta rupiah.
“Jumlah tagihannya mulai Rp 2 juta sampai Rp 16 juta, tergantung jumlah kamar (hotel),” kata Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM) I Made Adiyasa saat dikonfirmasi infoBali, Rabu (13/8/2025).
Berdasarkan surat tagihan yang diterima pengusaha di bawah naungan AHM, hotel yang memiliki kurang dari 50 kamar dipatok tagihan sekitar Rp 2 juta. Sejauh ini, Adiyasa berujar, belum ada pengelola hotel di Mataram yang membayar tagihan royalti pemutaran lagu itu.
“Teman-teman info ke saya sudah dapat surat (tagihan royalti). Tapi, belum pada bayar,” beber Adiyasa.
Adiyasa menuturkan ada sekitar tiga hotel yang mendapatkan surat tagihan pembayaran royalti dari LMKN. Namun, dia enggan merinci nama hotel yang diminta melunasi tagihan tersebut.
“Ada tiga hotel yang sudah info ke saya dan minta jangan di-share, ntar makin dikejar kalau disebutkan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Adiyasa menyebut para pengusaha hotel di Mataram kebingungan dengan kewajiban membayar royalti musik. Padahal, hotel-hotel di Mataram tidak pernah memutar musik seperti yang biasa dilakukan restoran atau kafe-kafe.
Menurut Adiyasa, LMKN menagih royalti dengan alasan masing-masing kamar hotel menyediakan televisi (TV) yang bisa dipakai mendengarkan musik oleh tamu. “Itu argumen mereka (LMKN), (pengelola hotel harus bayar royalti lagu) berdasarkan jumlah kamar,,” jelasnya.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, Ni Ketut Wolini, mengkritik mekanisme penarikan royalti atas pemutaran lagu di kafe dan restoran. Ia menilai kebijakan tersebut belum memiliki dasar teknis dan petunjuk pelaksanaan yang jelas di daerah.
Hal itu disampaikan Wolini menanggapi kasus hukum yang menjerat Mie Gacoan di Bali. Pengelola Mie Gacoan dilaporkan ke Polda Bali oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi) karena tidak membayar lisensi menyeluruh atau blanket license atas pemutaran lagu di gerai mereka.
Wolini juga menyoroti beban berlapis yang kini harus ditanggung pelaku usaha di sektor hotel dan restoran. Selain membayar pajak pusat dan daerah, mereka juga dibebani kewajiban membayar royalti lagu.
“Harapan kami dari PHRI ada revisi undang-undang karena ini memberatkan dan kami bayar pajaknya tinggi. Satu objek pajak atau satu objek usaha, misalnya restoran atau hotel, itu pajak daerah tinggi, pajak pusat juga. Belum pajak yang lainnya,” kata Wolini beberapa waktu lalu.