Fraksi Gerindra DPRD Manggarai Barat menyoroti potensi kebocoran pendapatan asli daerah (PAD) akibat belum terpasangnya alat perekam transaksi elektronik (tapping box) di sejumlah hotel, restoran, dan tempat hiburan di wilayah tersebut.
Temuan itu disampaikan saat pembacaan pendapat akhir fraksi Gerindra terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Manggarai Barat Tahun Anggaran 2024, dalam rapat paripurna DPRD pada Senin (16/6/2025).
“Meskipun digitalisasi transaksi dan sistem pembayaran non-tunai telah mulai diterapkan, praktik di lapangan masih menunjukkan ketimpangan besar antara potensi riil dan hasil pungutan,” ujar anggota Fraksi Gerindra, Kanisius Jehabut.
Menurutnya, masih banyak hotel, restoran, dan tempat hiburan yang belum dipasangi tapping box secara merata. Bahkan, ada pelaku usaha yang menolak pemasangan alat tersebut dengan alasan tidak memiliki rekening Bank NTT.
“Beberapa wajib pajak bahkan menolak pemasangan alat tersebut dengan alasan teknis atau ketidaksediaan membuka rekening Bank NTT. Ini menunjukkan lemahnya regulasi daerah dan tidak adanya payung hukum yang memaksa,” kata Kanisius.
Ia menegaskan tapping box bukan sekadar alat penghitungan transaksi, tetapi merupakan “jantung dari sistem pengendalian fiskal modern”. Tanpa kebijakan digitalisasi yang wajib dan regulasi yang kuat, kebocoran fiskal disebut akan terus terjadi secara sistemik.
Terkait temuan tersebut, Fraksi Gerindra menyampaikan beberapa rekomendasi. Di antaranya, Pemkab Manggarai Barat diminta segera menyusun peraturan daerah (Perda) atau peraturan bupati (Perbup) yang mewajibkan seluruh objek pajak membuka rekening di Bank NTT demi integrasi sistem pajak daerah.
Selain itu, pemerintah daerah diminta menanggung biaya pemasangan tapping box di seluruh objek pajak strategis menggunakan APBD sebagai bentuk investasi fiskal.
Fraksi Gerindra juga menyoroti belum terintegrasinya sistem pengelolaan pajak dengan Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) keuangan. Kondisi ini menyebabkan laporan PAD tidak bisa diakses secara real-time, dan baru tersedia setelah rekonsiliasi manual.
“Ini membuka ruang bias data, keterlambatan pelaporan, dan potensi manipulasi yang sulit dideteksi secara langsung oleh DPRD maupun publik,” tegas Kanisius.
Pemerintah daerah juga didorong untuk membangun dashboard PAD berbasis real-time yang dapat diakses secara daring oleh DPRD dan masyarakat guna mendorong transparansi dan kontrol sosial.
“Kunci utama peningkatan PAD selain perluasan objek pungutan, tetapi juga pada dua hal mendasar yaitu transparansi data dan pengawasan berbasis teknologi,” ujar Kanisius.