Pasangan pengantin di bawah umur, SMY (14) dan SR (17), memenuhi panggilan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Lombok Tengah, Selasa (27/5/2025). Keduanya diperiksa terkait laporan dugaan pernikahan dini yang dilayangkan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram.
Pantauan infoBali, pasangan ini tiba di Mapolres Lombok Tengah sekitar pukul 10.45 Wita. Mereka datang didampingi kuasa hukum, puluhan anggota keluarga, serta masyarakat. Orang tua SMY, Muhdan, juga turut diperiksa.
“Kedatangan kami hari ini untuk memenuhi panggilan dari penyidik Polres Lombok Tengah atas laporan dari Joko Jumadi,” ujar kuasa hukum SMY dan SR, Muhanan.
Muhanan menegaskan bahwa pihaknya kooperatif dan siap memberikan keterangan sesuai dengan yang diminta penyidik. “Kami menghargai pemanggilan ini untuk memberikan keterangan sesuai dengan pertanyaan nanti,” imbuhnya.
Pemeriksaan Terkait Laporan LPA
Laporan kepada polisi dilayangkan oleh Ketua LPA Mataram, Joko Jumadi, pada Sabtu (24/5/2025), usai viralnya video prosesi nyongkolan SMY dan SR di media sosial.
Joko menyebut laporan ditujukan kepada semua pihak yang diduga terlibat memfasilitasi pernikahan anak, termasuk orang tua dan penghulu. Berdasarkan data, SMY adalah siswi SMP asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, sementara SR adalah siswa SMK dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Polisi Dalami Alasan Pernikahan
Kapolres Lombok Tengah AKBP Eko Yusmiarto menjelaskan, pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui alasan pasangan tersebut dinikahkan di bawah umur serta peran pihak-pihak yang memfasilitasi.
“Tujuan kami meminta keterangan adalah agar jelas apa permasalahannya, kenapa bisa pernikahan di bawah umur, apa peran orang tua,” kata Eko kepada wartawan.
Selain SMY dan SR, polisi juga berencana memeriksa saksi lain seperti aparat desa, penghulu, hingga tokoh adat. “Kami ingin tahu sebab musabab. Toh juga anak-anak ini mungkin saja sebagai korban. Kami belum tahu dari orang tuanya,” ujarnya.
Eko mengatakan Polres menghormati keberadaan hukum adat, namun penegakan hukum positif tetap menjadi prioritas. “Hukum adat tidak mengalahkan hukum positif. Maka dari itu, kami minta semua pihak tenang dan beri kepercayaan kepada penyidik,” jelasnya.
Dicecar 20 Pertanyaan
Dalam pemeriksaan yang berlangsung selama empat jam, SMY, SR, dan orang tua SMY masing-masing dicecar sekitar 20 pertanyaan oleh penyidik.
“Pertanyaan untuk orang tua seputar alasan dinikahkan, apakah tahu bahwa menikah dini dilarang, serta siapa saja yang hadir dalam pernikahan itu,” kata Muhanan.
Adapun pertanyaan untuk SMY dan SR lebih banyak membahas kronologi dan apakah mereka sempat dicegah sehingga memilih kawin lari ke Sumbawa.
Muhanan meminta Kapolres meninjau kembali proses hukum kasus ini karena menurutnya ada aspek adat yang perlu dipertimbangkan. Ia juga mengimbau semua pihak turut bertanggung jawab atas masa depan SMY dan SR.
“Tolong bersama-sama didik, lindungi, dan berikan masa depan yang baik terhadap anak ini,” ujarnya.
Respons tokoh adat Sasak klik halaman selanjutnya
Respons Tokoh Adat Sasak
Pengerakse Agung Majelis Adat Sasak (MAS), Lalu Sajim Sastrawan, menanggapi kasus pernikahan dini ini. Ia menegaskan bahwa praktik merariq kodek (pernikahan dini) bukan lagi bagian dari budaya masyarakat Sasak modern.
“Kita menuju masyarakat Sasak yang modern. Tentu ada perubahan adat istiadat,” ujar Sajim kepada infoBali.
Sajim menyebut adanya Undang-Undang Perkawinan membuat negara turut mengatur urusan sosial masyarakat, termasuk batas usia minimal menikah. Ia menegaskan bahwa kasus seperti SMY dan SR bersifat kasuistik.
“Ini kasus, artinya bukan begini caranya orang Sasak menikah,” kata Sajim.
Menurutnya, masyarakat Sasak mengenal proses penjajakan pernikahan yang disebut midang atau ngapel, yang dilakukan dengan etika dan pengawasan keluarga. Bahkan, dalam tradisi kawin culik, calon pengantin pria membawa saudara perempuannya untuk menghindari fitnah.
Sajim mendukung langkah LPA Mataram melaporkan pernikahan anak tersebut. Ia menilai semua pihak yang memfasilitasi harus bertanggung jawab.
“Laporan itu bagus sebagai bentuk edukasi. Pemerintah dan masyarakat harus lebih masif dalam sosialisasi dan pengawasan,” ujarnya.