Pernikahan anak di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), membuat heboh dan sempat viral di media sosial (medsos). Mempelai perempuan diduga masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Sedangkan, mempelai laki-laki disebut merupakan siswa sekolah menengah kejuruan (SMK).
Pasangan di bawah umur yang menikah tu masing-masing berinisial SMY (15) perempuan asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan pria berinisial SR (17) asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Berdasarkan video yang beredar, kedua mempelai terlihat berfoto bersama sejumlah undangan di depan dekorasi pernikahan mereka. Selain itu, mempelai perempuan yang diperkirakan berusia sekitar 15 tahun tampak semringah saat mengikuti prosesi nyongkolan atau pernikahan adat Sasak, Lombok.
Sontak, video pernikahan anak di bawah umur itu menuai beragam respons dari warganet. Tak sedikit warganet yang menyesalkan pernikahan anak sekolahan itu.
Sejumlah tokoh masyarakat juga merespons pernikahan anak di bawah umur itu. Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram, Joko Sumadi, bahkan melaporkan hal itu ke Polres Lombok Tengah.
Selain Joko, pernikahan anak SMP dan SMK ini juga disoroti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang meminta berbagai pihak yang menikahkan mereka disanksi tegas. Wakil Menteri Perlindungan Perempuan Anak (Wamen) PPA, Veronica Tan, juga prihatin atas pernikahan anak itu.
Ketentuan usia minimal pernikahan yang sah secara negara telah diatur dalam undang-undang. Aturan usia minimal untuk menikah ini diberikan guna mencegah pernikahan dini yang dapat berdampak pada segala aspek.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada menyebutkan perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Sebelum diubah, undang-undang tersebut menyatakan perkawinan hanya diizinkan apabila pria mencapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita.
Negara menilai usia 19 tahun telah matang secara jiwa dan raganya. Pria dan wanita yang menikah pada usia itu dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian serta mendapatkan keturunan yang sehat dan berkualitas.
Pertimbangan lainnya adalah dengan kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 tahun bagi wanita untuk menikah akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak.
Selain itu, juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembangnya sang anak, termasuk pendampingan orang tua, serta memberikan akses anak terhadap pendidikan yang setinggi mungkin.