Setiap masyarakat yang mendiami suatu daerah di Indonesia memiliki tradisi upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satunya adalah masyarakat Bima yang memiliki tradisi penting, yaitu tradisi Hanta Ua Pua di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tradisi ini sudah tumbuh dan berkembang sejak abad ke-17, saat KesultananBima masih berdiri. Bagi masyarakatBima,Hanta UaPua merupakan tradisi untuk memperingati masuknya agama Islam diBima. Proses pelaksanaanHanta UaPua pun sangat unik. Dimana masyarakatBima akan menampilkan berbagai atraksi kesenian tradisional masyarakatBima.
Penasaran dengan ulasan lengkapnya? Berikut infoBali rangkum mengenai sejarah, fungsi, prosesi upacara, dan atraksi yang ditampilkan dalam upacara Hanta Ua Pua. Informasi ini dirangkum dari jurnal yang ditulis oleh Nurnazmi dan Maksum (2023) dengan judul Upacara Hanta Ua Pua untuk Memperingati Masuknya Islam di Dana Mbojo dan jurnal yang ditulis oleh Diana (2025) dengan judul Nilai-nilai Budaya Dalam Upacara Hanta Ua Pua: Telaah Historis Atas Tradisi Masyarakat Bima.
Munculnya tradisi ini sangat erat kaitannya dengan penyebaran agama islam di Bima, tepatnya pada masa Kesultanan Bima abad ke-17. Awalnya kesultanan Bima tidak menganut agama Islam. Masuknya agama Islam di Bima, dikenalkan oleh Abdul Khair yang merupakan sultan ke-2 dari Kesultanan Bima (1620-1640). Ia menjadi raja pertama yang memeluk agama Islam dan langsung mengukuhkan Kesultanan Bima sebagai Kesultanan Islam.
Ajaran agama Islam yang dimiliki oleh Abdul Khair didapatkan dari kerajaan Goa dan berguru dengan ulama Datuk Di Banda dan Datuk Di Tirto. Dalam proses penyebaran ajaran Islam di Bima, Abdul Khair dibantu oleh Datuk Maha Raja Lele yang merupakan ulama Melayu dari Pagaruyung.
Tantangan besar dalam proses penyebaran agama Islam yang dialami oleh Abdul Khair adalah sulitnya komunikasi antar desa. Untuk mengatasi hal itu, Abdul Khair menggelar sebuah acara dakwah yang bertepatan pada hari Maulid Nabi. Agar rakyat Bima tertarik pada acara ini, Abdul Khair menambahkan unsur budaya dan seni dalam pelaksanaan yang membuat rakyat Bima sangat antusias untuk menghadiri acara ini.
Melihat antusias rakyat, perayaan ini terus digelar setiap tahunnya dan diberi nama Hanta Ua Pua. Sejak saat itulah perayaan ini identik dengan merayakan Maulid Nabi dan masuknya Ajaran Islam di Bima.
Dalam bahasa Bima, Hanta Ua Pua terbagi menjadi 2 kata. Hanta yang berarti angkat dan Ua Pua memiliki arti sirih puan tempat penyimpanan sirih. Jadi Hanta Ua Pua adalah tradisi mengangkat penyimpanan sirih yang sudah dihiasi dengan satu rumpun rangkaian bunga telur berwarna-warni dan dimasukkan ke dalam satu wadah segi empat yang berisi Al-Quran.
Tradisi Hanta Ua Pua bagi masyarakat Bima memiliki fungsi sebagai pengingat dan menegaskan bagi pemimpin baru untuk terus melanjutkan ajaran Islam di Bima. Mengingat Perjuangan yang dilalui oleh sultan II dan para ulama zaman dahulu tidak mudah untuk menyebarkan agama Islam di tanah Bima.
Selain itu, upacara ini juga sebagai penghormatan kepada ulama yang sudah bersusah payah menyebarkan ajaran Islam. Bagi masyarakat Bima, seorang ulama merupakan hawo ra nino yang memiliki arti sebagai tempat berteduh dan dijadikan teladan, yang memiliki harga diri setara dengan seorang sultan.
Tidak hanya untuk memperingati hari Maulid Nabi, Hanta Ua Pua juga menjadi momen untuk silaturahmi antar masyarakat Bima. Dalam tradisi ini seluruh rakyat Bima dari berbagai desa akan berkumpul dan secara bersama-sama mempersiapkan Upacara Hanta Ua Pua. Dengan begitu mereka akan saling berinteraksi yang dapat menciptakan hubungan yang rukun.
UpacaraHanta UaPua juga menjadi perantara dan wadah dalam dakwah ajaran Islam. Salah satu dari rangkaianHanta UaPua adalah berdakwah untuk menyebarkan ajaran Islam yang dilakukan oleh para ulama. Dengan begituHanta UaPua juga menjadi pengingat masuknya agama Islam diBima untuk pertama kalinya.
Upacara Hanta Ua Pua tidak hanya menampilkan acara dakwah, tetapi juga menampilkan beberapa atraksi kesenian tradisional Kesultanan Bima dan atraksi dari pasukan Kesultanan. Hal inilah yang membuat rakyat Bima antusia dalam menggelar acara Hanta Ua Pua.
Atraksi kesenian tradisional, seperti Tari Lenggo, Tari Kaja dan Mihu, dan Tari Sere. Selain itu juga akan dibacakan sebuah Dali oleh Sultan II, berisi tentang petuah dan nasehat sesuai ajaran agama Islam.
Adapun atraksi dari tiga pasukan kerajaan Kesultanan Bima, yaitu pasukan jara wera yang siap dan setia membela agama Islam. Jara sara’u yang akan menampilkan atraksi hentakan kaki kuda yang sangat terampil. Dan Laskar suba na’e, yaitu pasukan perang yang membawa tombak dan tameng untuk berjaga-jaga.
Sebelum melaksanakan upacara ini, masyarakat Bima harus memastikan kesedian Uma Lige (rumah tradisional suku Bima) dan Bunga Dolu atau telur ayam yang sudah dibungkus dengan kertas minyak beraneka warna sebanyak 99 butir.
Pelaksanaan Hanta Ua Pua diawali dengan atraksi seni budaya tradisional selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh seniman, penari dan pendekar dari berbagai pelosok desa dalam wilayah Kesultanan Bima akan berkumpul di lapangan Sera Suba untuk mempertunjukan keahlian mereka masing-masing.
Punca pagelaran Hanta Ua Pua adalah saat Maulid Nabi. Pelaksanaan upacara akan diawali dengan pemukulan Ranca Na’e di pagi hari. Selanjutnya, tokoh adat, prajurit, penari sere, dan penari lenggo mbojo akan menjemput penghulu Melayu yang ditandai dengan dentuman meriam.
Pada saat berjalan rombongan akan berjalan sesuai tugasnya. JaraWera sebagai pasukan pengawal pembuka jalan. Lalu disusul di belakangnya oleh anggota LaskarSubaNa’e dan penari Sere. Setelah itu adalah rombongan pengusungUmaLige (mahligai). Baru di belakangnya adalah rombongan pemuka adat Melayu dan pemuka adatMbojo.
Saat rombongan penghulu sudah sampai di Istana, mereka akan disambut dengan tari Kanja, Sere, dan Mihu. Setelah itu penghulu menyerahkan Hanta Ua Pua kepada sultan sebagai simbol kesepakatan dan mempelajari ajaran agama Islam. Setelah prosesi penyerahan selesai, mereka akan duduk bersama hingga acara selesai dan membagikan bunga dolu yang berjumlah 99 tangkai kepada masyarakat yang hadir.






