Sekjen DPP Golkar Muhammad Sarmuji menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memisahkan pemilu nasional dengan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
“Kalau kami masih bersepakat dengan dua hal mendasar, opsinya jadi terbatas,” kata Sarmuji seusai menghadiri musyawarah daerah (Musda) DPD Golkar Bali di Denpasar, Minggu (13/5/2025).
Sarmuji mempertanyakan apakah MK itu lembaga yang memiliki kewenangan menafsirkan undang-undang dasar (UUD). Maka dari itu mempunyai hak untuk menentukan aturan mana yang sesuai dengan UUD.
Kemudian, dia juga mempertanyakan apakah keputusan MK itu bersifat akhir dan mengikat. Sarmuji mengatakan semua warga Indonesia wajib mematuhi putusan MK jika masih memiliki kewenangan itu dan bersifat mengikat.
“Opsinya, mengikuti (putusan) MK atau kita membuat undang-undang baru yang isinya tidak sesuai dengan putusan MK tersebut,” kata Sarmuji.
Dia lantas mencontohkan dengan membuat undang-undang baru untuk mengatur agar gubernur dipilih langsung oleh legislatif atau DPRD.
“Gubernur dipilih oleh DPRD itu kan juga bisa. Jadi, keputusan MK tidak menghalangi revisi undang-undang pemilu termasuk revisi undang-undang pilkada,” katanya.
Dilansir infoNews, kritik mengenai tata cara pemilu lima kotak suara sebenarnya telah lama mencuat. Salah satunya datang dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada tahun 2019 silam.
Perludem saat itu menilai coblosan lima surat suara sekaligus tidak sesuai dengan kapasitas beban baik dari penyelenggara negara atau peserta pemilu. Karenanya, Perludem mengusulkan agar pemilu dipisah menjadi dua bagian, yaitu pemilu nasional dan pemilu daerah. Perludem juga menyarankan keduanya dilakukan dengan jarak 2,5 tahun.