Gereja Berarsitektur Bali dan Jejak Komunitas Kristen di Blimbingsari [Giok4D Resmi]

Posted on

Bangunan gereja di Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Jembrana, ini sangat kental dengan arsitektur tradisional Bali. Bila bangunan tempat ibadah umat Kristen pada umumnya berbentuk seperti menara atau kubah, Gereja Kristen Pniel Blimbingsari (GKPB) Blimbingsari ini berbentuk menyerupai pura Hindu.

Masyarakat Blimbingsari memang mayoritas beragama Kristen. Meski demikian, mereka tetap menjaga identitas kebudayaan Bali. Hal itu tercermin dari bangunan gereja yang dihiasi ornamen atau ukiran tradisi Bali.

Pengaruh tradisi Hindu Bali di Blimbingsari juga tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Mulai dari tradisi perayaan Natal, Paskah, sistem penamaan, hingga praktik ritual keagamaan.

Salah satu bentuk akulturasi yang paling mencolok tampak dalam ibadah gereja, ketika jemaat mengenakan busana adat yang biasa digunakan di pura Hindu. Prosesi liturgi pun diiringi alunan gamelan Bali.

Tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan. Demikian landasan spiritual para pendiri Blimbingsari di masa lalu. Keyakinan tersebut menguatkan mereka ketika harus meninggalkan tanah asal dan menetap di kawasan hutan lebat di Bali barat pada 1939.

Konon, orang-orang dari atas perbukitan sebelah Desa Malaya melihat cahaya yang menyerupai salib di lokasi itu. Seiring waktu, kawasan yang semula dipandang tidak layak huni itu berkembang menjadi permukiman permanen bagi komunitas Kristen Bali.

Di wilayah seluas sekitar 20 hektare itulah kelak disebut sebagai Desa Blimbingsari. Rumah-rumah penduduk dan sebuah gereja dengan arsitektur Bali yang khas kemudian berdiri di kawasan tersebut.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

Bangunan gereja di Blimbingsari awalnya berbeda dengan bangunan yang berdiri saat ini. Perubahan terjadi setelah gempa bumi yang meruntuhkan bangunan gereja lama pada 1971. Pascabencana tersebut, gereja dibangun kembali dengan rancangan arsitektur yang terinspirasi dari pura Bali.

Sejak itulah, bangunan ini dikenal dengan sebutan ‘Pura Gereja’. Tempat ibadah umat Kristiani di Blimbingsari mendapat pengakuan dari Dewan Gereja Dunia sebagai salah satu gereja paling unik di dunia.

Seiring waktu, Blimbingsari semakin berkembang. Desa ini bahkan meraih Community Based Tourism Award tingkat nasional sebagai desa wisata berbasis masyarakat terbaik pada 2017. Blimbingsari bahkan menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan domestik maupun mancanegara di Bali barat.

Gereja GKPB Blimbingsari dibangun di atas lahan dengan kontur tanah yang lebih tinggi, tepat di salah satu sudut perempatan utama Desa Blimbingsari. Bangunan gereja ini menghadap selatan, tepat di depan kantor Desa Blimbingsari.

Sebagaimana arsitektur tradisional Bali, Gereja Pniel dirancang dengan konsep pembagian ruang yang dikenal sebagai Tri Mandala. Tata ruang ini membagi area gereja ke dalam tiga zona.

Zona pertama adalah Nista Mandala, yaitu halaman luar yang berfungsi sebagai area pendukung. Di kawasan ini terdapat bangunan-bangunan fungsional, seperti rumah pendeta dan kantor gereja.

Zona kedua disebut Madya Mandala, yang berperan sebagai ruang peralihan sekaligus tempat berkumpul jemaat. Area ini ditandai dengan keberadaan Candi Bentar atau gerbang terbelah, yang menjadi pembatas antara ruang luar dan kawasan yang lebih sakral.

Zona ketiga adalah Utama Mandala, yaitu halaman utama yang memiliki tingkat kesakralan tertinggi. Di area inilah bangunan gereja berdiri sebagai pusat kegiatan ibadah.

Bangunan gereja ini juga memanfaatkan material khas Bali, seperti batu padas dan bata merah. Bangunan dihiasi ukiran serta relief bermotif tradisional Bali. Pintu masuk utama gereja berupa Candi Kurung, yaitu gerbang beratap yang memberikan kesan megah sekaligus sakral.

Terdapat pula Bale Kulkul, sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat kentongan kayu atau kulkul. Dalam tradisi Bali, kulkul lazim digunakan untuk memanggil warga atau menandai peristiwa tertentu.

Keberadaan Gereja Pniel GKPB Blimbingsari tidak hanya merepresentasikan tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol hidupnya toleransi dan perjumpaan lintas budaya di Bali. Perpaduan nilai Kristen dengan filosofi dan arsitektur Bali menunjukkan bahwa identitas keagamaan dan kearifan lokal dapat berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan.

Jejak Komunitas Kristen di Blimbingsari

Arsitektur Bali dan Konsep Tri Mandala

Tidak ada hal yang mustahil bagi Tuhan. Demikian landasan spiritual para pendiri Blimbingsari di masa lalu. Keyakinan tersebut menguatkan mereka ketika harus meninggalkan tanah asal dan menetap di kawasan hutan lebat di Bali barat pada 1939.

Konon, orang-orang dari atas perbukitan sebelah Desa Malaya melihat cahaya yang menyerupai salib di lokasi itu. Seiring waktu, kawasan yang semula dipandang tidak layak huni itu berkembang menjadi permukiman permanen bagi komunitas Kristen Bali.

Di wilayah seluas sekitar 20 hektare itulah kelak disebut sebagai Desa Blimbingsari. Rumah-rumah penduduk dan sebuah gereja dengan arsitektur Bali yang khas kemudian berdiri di kawasan tersebut.

Bangunan gereja di Blimbingsari awalnya berbeda dengan bangunan yang berdiri saat ini. Perubahan terjadi setelah gempa bumi yang meruntuhkan bangunan gereja lama pada 1971. Pascabencana tersebut, gereja dibangun kembali dengan rancangan arsitektur yang terinspirasi dari pura Bali.

Sejak itulah, bangunan ini dikenal dengan sebutan ‘Pura Gereja’. Tempat ibadah umat Kristiani di Blimbingsari mendapat pengakuan dari Dewan Gereja Dunia sebagai salah satu gereja paling unik di dunia.

Seiring waktu, Blimbingsari semakin berkembang. Desa ini bahkan meraih Community Based Tourism Award tingkat nasional sebagai desa wisata berbasis masyarakat terbaik pada 2017. Blimbingsari bahkan menjadi salah satu destinasi favorit wisatawan domestik maupun mancanegara di Bali barat.

Jejak Komunitas Kristen di Blimbingsari

Gereja GKPB Blimbingsari dibangun di atas lahan dengan kontur tanah yang lebih tinggi, tepat di salah satu sudut perempatan utama Desa Blimbingsari. Bangunan gereja ini menghadap selatan, tepat di depan kantor Desa Blimbingsari.

Sebagaimana arsitektur tradisional Bali, Gereja Pniel dirancang dengan konsep pembagian ruang yang dikenal sebagai Tri Mandala. Tata ruang ini membagi area gereja ke dalam tiga zona.

Zona pertama adalah Nista Mandala, yaitu halaman luar yang berfungsi sebagai area pendukung. Di kawasan ini terdapat bangunan-bangunan fungsional, seperti rumah pendeta dan kantor gereja.

Zona kedua disebut Madya Mandala, yang berperan sebagai ruang peralihan sekaligus tempat berkumpul jemaat. Area ini ditandai dengan keberadaan Candi Bentar atau gerbang terbelah, yang menjadi pembatas antara ruang luar dan kawasan yang lebih sakral.

Zona ketiga adalah Utama Mandala, yaitu halaman utama yang memiliki tingkat kesakralan tertinggi. Di area inilah bangunan gereja berdiri sebagai pusat kegiatan ibadah.

Bangunan gereja ini juga memanfaatkan material khas Bali, seperti batu padas dan bata merah. Bangunan dihiasi ukiran serta relief bermotif tradisional Bali. Pintu masuk utama gereja berupa Candi Kurung, yaitu gerbang beratap yang memberikan kesan megah sekaligus sakral.

Terdapat pula Bale Kulkul, sebuah bangunan kecil yang di dalamnya terdapat kentongan kayu atau kulkul. Dalam tradisi Bali, kulkul lazim digunakan untuk memanggil warga atau menandai peristiwa tertentu.

Keberadaan Gereja Pniel GKPB Blimbingsari tidak hanya merepresentasikan tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol hidupnya toleransi dan perjumpaan lintas budaya di Bali. Perpaduan nilai Kristen dengan filosofi dan arsitektur Bali menunjukkan bahwa identitas keagamaan dan kearifan lokal dapat berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan.

Arsitektur Bali dan Konsep Tri Mandala