Eks Dirut Bank NTT Ditetapkan Tersangka Korupsi Rp 50 Miliar

Posted on

Mantan Direktur Utama (Dirut) Bank NTT, Hari Alexander Riwu Kaho, ditetapkan sebagai tersangka korupsi pembelian Medium Term Notes (MTN) atau surat utang jangka menengah PT Sunprima Nusantara. Pembelian ini dibiayai PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) NTT pada 2018.

“HARK selaku Kepala Divisi Treasury PT BPD NTT pada tahun 2018. Hari ini resmi kami nyatakan sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pembelian MTN,” ujar Kajati NTT, Roch Adi Wibowo, saat jumpa pers di kantornya, Jumat (12/12/2025).

Alex ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (9/12/2025) berdasarkan surat penetapan nomor B-5206/N.3/Fd.1/12/2025. Ia kemudian diperiksa sebagai tersangka dan dicecar dengan 37 pertanyaan pada Jumat (12/12/2025).

Sebelumnya, Alex berujar, penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus (Tipidsus) Kejati NTT juga menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut pada Kamis (4/12/2025). Keempatnya adalah LD, DS, AI, dan AE. “Sehingga hari ini juga dilakukan penyerahan empat tersangka ini beserta barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum,” jelas Roch.

LD berperan sebagai pemilik manfaat atau beneficial owner dari PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP). Kemudian, DS selaku mantan karyawan PT MNC Sekuritas dan juga Direktur Investment Banking pada 2014-2019.

Selanjutnya, AI selaku mantan karyawan PT MNC Sekuritas dan PJS Direktur Capital Market PT MNC Sekuritas. Sedangkan AE selaku mantan karyawan PT MNC Sekuritas dan juga Kepala Divisi Fixed Income PT MNC Sekuritas.

“Mereka diperiksa sebagai tersangka pada Kamis (11/12/2025) di Kejati Jambi. Selanjutnya, mereka dibawa ke Kejati NTT ke Kota Kupang dan dikawal ketat oleh TNI AL dan petugas Lapas,” ungkap Roch.

Penyidik menemukan Divisi Treasury Bank NTT mendapatkan penawaran investasi MTN VI Seri D dari PT SNP tahap satu berating IdA- (single A minus) sesuai rating dari PT Pefindo pada 27 Februari 2018. Penawaran investasi itu berjangka waktu 24 bulan dan jatuh tempo pada Maret 2020.

Suku bunga penawaran investasi sebesar 10,50%. Total pendapatan yang akan diterima sampai dengan jatuh tempo sebesar Rp 10,5 miliar. Kemudian, pendapatan bunga setiap triwulan itu sebesar Rp 1,3 miliar lebih yang ditawarkan melalui PT MNC Sekuritas sebagai arranger.

Meski demikian, LD, DS, AI, dan AE, tetap melakukan penawaran walaupun menyadari bahwa PT SNP selaku penerbit MTN telah memberikan data atau informasi yang tidak benar dalam laporan keuangannya.

Informasi itu, terang Roch, tidak bersumber dari data yang sebenarnya. Laporan memasukkan data-data piutang fiktif dan double pledge dalam setiap laporan keuangan PT SNP. Upaya itu dilakukan agar laporan keuangannya seolah-olah sehat. Padahal, LD yang merupakan anak dari Komisaris PT SNP telah mengetahui kondisi keuangan PT SNP tidak sehat sejak 2010.

Penyidik mendapatkan informasi itu dari beberapa saksi yang merupakan karyawan PT SNP. Temuan disertai bukti data piutang fiktif dan double pledge dalam setiap laporan keuangan.

LD mengetahui, menyadari serta menginisiasi data-data tersebut merupakan perbuatan terlarang dalam penyusunan laporan keuangan, terutama untuk diberikan kepada bank. Namun, praktik tersebut justru tetap dilanjutkan oleh LD. Alasannya, perusahaan membutuhkan anggaran untuk kelangsungannya serta pembayaran cicilan kredit kepada Bank Mandiri. Utang PT SNP saat itu lebih dari Rp 2,4 triliun.

Kemudian, PT Pefindo memberikan rating kepada PT SNP menjadi single A pada 1 Maret 2018. Selanjutnya, atas penawaran tersebut, dealer Divisi Treasury PT Bank NTT melakukan telaah pada 6 Maret 2018 dan disetujui oleh Alex Riwu Kaho tanpa melalui uji tuntas maupun pemeriksaan secara menyeluruh. “Sehingga dengan kesimpulan pada pokoknya Bank NTT membeli produk MTN tersebut tanpa melakukan analisis terhadap produk yang diterbitkan,” kata Roch.

PT SNP juga tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam proses pembelian MTN. Kemudian, tidak menerapkan manajemen risiko dan pengendalian risiko dalam proses pembelian MTN, serta tidak melaksanakan pengawasan terhadap Alex Riwu Kaho selaku pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penempatan dana dalam bentuk MTN.

Pembelian surat berharga juga dilakukan langsung oleh Alex. Pembelian dilakukan tanpa usulan pembelian surat berharga ke direksi maupun pejabat yang ditunjuk sebagaimana diamanatkan dalam standard operating procedure (SOP) di Bank NTT. SOP pembelian itu diatur oleh SK Direksi PT BPD NTT Nomor 81 tahun 2016 tentang Pokok-Pokok Ketentuan dan Prosedur Surat Berharga PT BPD NTT.

Alex kemudian menandatangani surat pernyataan minat pemesanan pembelian MTN VI SNP tahap I dengan jumlah nominal Rp 50 miliar dengan bunga sebesar 10,50%. Setelah terbitnya surat tersebut, PT MNC Sekuritas kemudian menerbitkan trade confirmation (TC) nomor 00754/MNCSEC/STL-FI/III/18 tanggal 14 Maret 2018 yang ditandatangani oleh
AE dan Alex.

Selanjutnya, Bank NTT melakukan investasi tersebut dengan membayar Rp 50 miliar pada 22 Maret 2018. Investasi dilakukan melalui real time gross settlement (RTGS) ke rekening PT MNC Sekuritas sebagai arranger.

Dalam proses penjualan MTN, PT SNP juga mendapat kesepakatan dari LD dan DS untuk pemberian fee tidak resmi yang merupakan keuntungan tidak wajar sebesar 3,5-4% dari nilai transaksi MTN PT SNP dengan Bank NTT yang dikirimkan melalui rekening Bank Mandiri atas nama PT Tunas Tri Artha seolah-olah bertindak selaku agen penjual.

Dalam hal itu, AI mendapat fee sebesar Rp 1 miliar. Kemudian, AE sebesar Rp 2,8 miliar. Sedangkan satu orang yang masih buron, yaitu BRS, mendapat Rp 1,2 M, serta PT SNP mendapat Rp 44 miliar lebih. “Ini jelas perbuatan yang dilakukan oleh para tersangka itu untuk memperkaya dan menguntungkan diri sendiri maupun orang lain,” tegas Roch.

Kemudian, Roch melanjutkan, PT SNP sebagai issuer mengalami permasalahan, yaitu macet karena pembayaran kupon yang seharusnya dibayarkan delapan kali, tetapi tidak dibayar sama sekali alias gagal bayar saat jatuh tempo pada 22 Maret 2020.

PT SNP selaku penerbit MTN telah terbukti menggunakan data yang tidak benar dalam laporan keuangannya yang menjadi dasar dalam penyusunan dokumen berupa informasi memorandum dan teaser.

“Padahal saya tegaskan lagi bahwa PT SNP tidak memiliki kemampuan lagi untuk mengembalikan maupun membayarkan keuntungan yang menjadi hak dari PT BPD NTT sebagaimana diperjanjikan dalam pembelian MTN tersebut yang akan diterima dalam bentuk kupon,” beber Roch.

Tindak pidana ini menimbulkan kerugian Rp 50 miliar. Besaran kerugian negara itu berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) investigatif dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Para tersangka kemudian dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) serta Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

“Selanjutnya, setelah pemeriksaan sebagai tersangka, HARK langsung ditahan selama 20 hari ke depan hingga 31 Desember 2025 di Rutan Kelas IIB Kupang,” jelas Roch.