Tim Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Negeri (Kejari) Manggarai telah menetapkan tiga tersangka proyek pembangunan gedung Central Sterile Supply Department (CSSD) dan laundry pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Ben Mboi Ruteng di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Proyek tersebut mangkrak.
Kepala Seksi Intelijen Kejari Manggarai, Putu Cakra Ari Perwira, mengungkapkan nilai kerugian keuangan negara dari proyek yang dikerjakan tahun anggaran 2020 itu mencapai Rp 16,4 miliar lebih. Angka tersebut jauh di atas pagu anggaran proyek sebesar hampir Rp 10 miliar.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
“Pagu Rp 9.970.962.550. Berdasarkan perhitungan ahli, nilai kerugian negara mencapai Rp 16.431.845.586, terdiri dari selisih volume pekerjaan serta denda keterlambatan dan masih ada beberapa item lain,” kata Putu melalui pesan WhatsApp, Sabtu (13/12/2025).
Putu mengungkapkan ketiga tersangka dugaan korupsi tersebut kini ditahan di Rutan Kelas IIB Ruteng. Menurutnya, tak menutup kemungkinan adanya tersangka baru.
“Sementara kami masih dalami kembali penyidikan perkara ini,” ujar Putu.
Adapun yang pertama kali ditetapkan tersangka adalah Direktur PT Belindo Timor Sejahtera (PT BTS), Sopron Tangkas. Sapron menjadi kontraktor pelaksana proyek tersebut. Ia ditetapkan tersangka pada 3 Desember 2025.
Sapron ditangkap di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, sehari sebelum ditetapkan tersangka. Sopron sebelumnya berstatus daftar pencarian orang (DPO) Kejari Manggarai setelah tidak memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik sebagai saksi sebanyak tiga kali.
Dua tersangka lainnya adalah GLAA selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan YPD selalu direktur CV AP sebagai konsultan pengawas proyek. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (12/12/2025).
“Akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 16.431.845.586 berdasarkan perhitungan ahli,” ungkap Putu.
Putu mengatakan penyidik sudah memeriksa 32 saksi dan empat ahli terkait kasus dugaan korupsi tersebut. Penyidik juga menyita sebanyak 145 dokumen dan uang tunai Rp 200 juta dari YPD. Pengembalian kerugian keuangan negara itu diserahkan YPD ke Kejari Manggarai pada 27 Oktober 2025.
Sebelumnya, Putu mengungkap modus perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tersangka. Menurut dia, GLAA tidak melakukan tindakan pemutusan kerja terhadap PT BTS sebagai pelaksana proyek tersebut. Padahal, PT BTS telah melakukan pekerjaan di luar waktu yang telah disepakati dalam kontrak.
GLAA juga tidak menghitung maupun menagih denda yang timbul dari tidak selesainya pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Selain itu, GLAA juga membiarkan PT BTS mempekerjakan personel yang tidak sesuai dalam dokumen penawaran sebagaimana yang tercantum dalam kontrak.
“Lalu membiarkan Gedung CSSD tersebut mangkrak karena belum dilakukan serah terima/PHO dan GLAA justru menyetujui atas pengajuan pencairan yang diajukan oleh PT. BTS yang tidak sesuai dengan progress riil di lapangan,” jelas Putu.
Adapun tersangka YPD tidak melakukan pengawasan dengan baik sesuai kesepakatan dalam kontrak. Termasuk tidak menghitung dengan cermat terkait laporan progres riil di lapangan sehingga berakibat pada kelebihan pembayaran. Sementara, Sopron bertindak sebagai kontraktor pelaksana proyek tersebut.
Modus Korupsi
“Akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 16.431.845.586 berdasarkan perhitungan ahli,” ungkap Putu.
Putu mengatakan penyidik sudah memeriksa 32 saksi dan empat ahli terkait kasus dugaan korupsi tersebut. Penyidik juga menyita sebanyak 145 dokumen dan uang tunai Rp 200 juta dari YPD. Pengembalian kerugian keuangan negara itu diserahkan YPD ke Kejari Manggarai pada 27 Oktober 2025.
Sebelumnya, Putu mengungkap modus perbuatan melawan hukum yang dilakukan para tersangka. Menurut dia, GLAA tidak melakukan tindakan pemutusan kerja terhadap PT BTS sebagai pelaksana proyek tersebut. Padahal, PT BTS telah melakukan pekerjaan di luar waktu yang telah disepakati dalam kontrak.
GLAA juga tidak menghitung maupun menagih denda yang timbul dari tidak selesainya pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Selain itu, GLAA juga membiarkan PT BTS mempekerjakan personel yang tidak sesuai dalam dokumen penawaran sebagaimana yang tercantum dalam kontrak.
“Lalu membiarkan Gedung CSSD tersebut mangkrak karena belum dilakukan serah terima/PHO dan GLAA justru menyetujui atas pengajuan pencairan yang diajukan oleh PT. BTS yang tidak sesuai dengan progress riil di lapangan,” jelas Putu.
Adapun tersangka YPD tidak melakukan pengawasan dengan baik sesuai kesepakatan dalam kontrak. Termasuk tidak menghitung dengan cermat terkait laporan progres riil di lapangan sehingga berakibat pada kelebihan pembayaran. Sementara, Sopron bertindak sebagai kontraktor pelaksana proyek tersebut.






