Fenomena antrean panjang pelamar kerja di berbagai daerah kian marak. Minimnya lowongan kerja formal membuat satu posisi kerja diperebutkan ratusan hingga ribuan orang. Kondisi ini dinilai menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia tengah menghadapi krisis lapangan kerja.
Sejumlah video dan foto viral di media sosial memperlihatkan antrean panjang para pencari kerja di ajang job fair maupun walk-in interview. Terbaru, antrean pelamar terlihat mengular di kawasan Santiong, Cianjur, hanya untuk satu posisi kerja di toko ritel.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menyebut dunia usaha pada prinsipnya tetap berkomitmen menyerap tenaga kerja seluas mungkin. Namun, ia menilai ada sejumlah faktor krusial yang menciptakan kesenjangan antara supply dan demand tenaga kerja.
Shinta menjelaskan, Indonesia saat ini tengah menghadapi fase yang kompleks, terutama di sektor padat karya. Tantangan itu datang dari dinamika geopolitik dan perlambatan ekonomi global, melemahnya konsumsi domestik yang menekan permintaan produk manufaktur, hingga tingginya biaya usaha.
“Indeks PMI Manufaktur Indonesia terakhir untuk bulan Juni 2025 tercatat turun menjadi 46,9 yang menandakan kontraksi sudah terjadi selama tiga bulan, mencerminkan industri yang semakin tertekan,” kata Shinta, dilansir dari infoFinance, Kamis (17/7/2025).
Faktor kedua, menurut Shinta, adalah akselerasi transformasi digital, otomasi, dan teknologi artificial intelligence (AI) yang memicu pergeseran jenis pekerjaan (job displacement). Ia juga mencatat bahwa investasi saat ini lebih banyak bersifat padat modal, bukan padat karya, sehingga menyerap tenaga kerja dalam jumlah terbatas.
Shinta mencontohkan, pada 2013 investasi senilai Rp 1 triliun mampu menyerap lebih dari 4.500 tenaga kerja. Namun, pada kuartal I 2025, nilai investasi yang sama hanya menyerap 1.277 orang. Artinya, pekerjaan konvensional yang dulunya menyerap banyak tenaga kerja kini mulai berkurang.
“Tantangannya adalah bagaimana kita menyiapkan talenta yang upskilled dan reskilled agar dapat bermigrasi ke sektor-sektor baru yang lebih produktif dan sesuai dengan kebutuhan industri masa depan,” ujarnya.
Shinta menambahkan, masih ada persoalan ‘regulatory bottleneck‘ yang perlu dibenahi bersama. Ia menekankan pentingnya menciptakan iklim investasi yang benar-benar mendukung pertumbuhan agar ekspansi usaha dapat terjadi dan mendorong penciptaan lapangan kerja.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
“Jadi jika ditanya, apakah kondisi ini ‘darurat’? kami lebih menyebutnya sebagai ‘wake-up call‘. Ini sinyal keras bahwa kita harus melakukan reformasi struktural di pasar kerja, menata ekosistem investasi, dan mendorong peningkatan employability tenaga kerja kita,” kata Shinta.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kondisi ini bukan sekadar sinyal darurat tenaga kerja. Fenomena ini mencerminkan adanya mismatch struktural di pasar tenaga kerja nasional. Jika tidak segera diintervensi dengan tepat, kondisi ini berpotensi menurunkan daya saing nasional dalam jangka panjang.
Artikel ini telah tayang di infoFinance. Baca selengkapnya