Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar, akan ditutup total pada akhir Desember 2025. Rencana penutupan tersebut berdampak pada aktivitas para pekerja pengangkutan sampah.
Pantauan infoBali, Kamis (7/8/2025), puluhan truk sampah berderet mengular dari gapura TPA Suwung di sisi kiri badan jalan sejak pukul 09.00 Wita. Beberapa di antara para sopir truk itu sudah mengantre sejak pukul 05.00 untuk membuang pelbagai macam sampah di TPA itu.
Tak lama, deretan truk itu bergerak menuju ke area pembuangan yang sudah ditentukan sesuai kabupaten asal sampah. Titik pisahnya di pertigaan pertama jalan aspal yang menanjak.
Belok ke kanan, adalah area pembuangan sampah dari Denpasar, Gianyar, dan Tabanan. Sedangkan di sisi kiri jalan, adalah area pembuangan sampah yang didapat dari Kabupaten Badung.
Tumpukan sampah di area pembuangan Kabupaten Badung yang paling banyak dan menggunung. Terlihat belasan truk menuju ke area itu untuk dikeruk sampahnya dari bak menggunakan dua alat berat.
Sementara itu, di puncak gunungan sampahnya, terlihat dua alat berat yang wara-wiri meratakan tumpukan sampah. Belasan pemulung juga terlihat hilir mudik mengambil sampah botol plastik dan kertas karton kemasan untuk dijual ke pengepul di TPA Suwung.
“Saya berangkat jam tiga pagi. Ambil sampah dulu di Desa Pecatu. Terus ke gudang. Di sana dipilah dulu sampahnya. Terus, antre ke sini dari jam 9 tadi,” kata Markus, sopir truk sampah asal Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, ditemui infoBali di TPA Suwung, Kamis (7/8/2025).
Markus hanya punya waktu tiga bulan sebelum kehilangan pekerjaannya imbas penutupan TPA Suwung pada akhir 2025. Meski mengaku tidak setuju dengan rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali itu, Markus tak punya pilihan lain.
“(Kalau TPA Suwung ditutup) ya berhenti (kerja) sudah,” kata Markus.
Dia mengungkapkan sampah seberat 4 ton diangkutnya tiap hari dari rumah warga di desa itu hingga ke TPA Suwung. Seusai diangkut dari rumah warga dan dipilah di sebuah gudang di TPST Jimbaran Lestari, bobotnya berkurang hingga 1 ton.
Selama bekerja jadi sopir truk sampah, Markus diupah Rp 2,5 juta per bulan hanya untuk mengangkut sampah dari rumah warga di desa itu ke TPA Suwung. Saat ditutup nanti, Markus mengaku tidak tahu harus bekerja sebagai apa.
“Nanti saya cari kerja lain,” katanya singkat.
Darti, pemulung asal Probolinggo, setali tiga uang. Dia hanya pasrah dengan rencana pemerintah menutup TPA Suwung.
“Saya di sini itu hanya bekerja saja. Mau ditutup, mau nggak, saya ya kerja saja. Apa kata yang punya sini saja (TPA Suwung),” kata Darti
Hanya, Darti lebih beruntung ketimbang Markus. Dia mengaku masih punya sawah yang harus digarap di kampung halamannya.
“Ya pulang kampung ke Probolinggo. Kerja lain. Saya di rumah (Probolinggo), saya petani. Nanam padi atau jagung,” katanya.
Sudah 15 tahun Darti memulung sampah di TPA Suwung. Dia hanya memungut sampah plastik berupa botol atau kemasan produk berbahan seng.
Dalam sehari, dirinya dapat mengumpulkan empat karung besar dengan bobot total 100 kuintal. Dia diupah Rp 3,5 juta tiap tanggal 15 dari sampah plastik yang dikumpulkan dan disortir oleh pengepul.