Wempi Dengi duduk di sebuah kursi bambu sederhana di antara sanak keluarga. Mereka duduk dekat kamar Debora Ina Bura, istri dari Ruben Radu Kaka yang meninggal dunia terseret arus di Tukad Unda, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung, Minggu (21/12/2025) sore. Ruben yang berupaya menyelamatkan tiga pelajar yang tenggelam justru ikut terseret.
Peristiwa itu memakan dua korban jiwa. Selain Ruben, satu korban tewas lainnya adalah Ni Komang Pande Arianti (14).
Kamar kos di sebuah gang sempit di Jalan Kenyeri, Klungkung, itu tengah ditinggal penghuninya. Debora sejak semalam menunggui jenazah suaminya, Ruben, di RSUD Prof IGNG Ngoerah, Sanglah, Denpasar. Rencananya, malam nanti keluarga mengadakan rapat keluarga membahas kepulangan mendiang Ruben ke Sumba, NTT.
Wempi adalah orang yang terakhir kali bersama Ruben. Wempi turut menolong para korban bersama mendiang Ruben. Beruntung, Wempi selamat.
Buruh kupas bawang di Pasar Galiran tersebut tak menyangka kegiatan mandi di sungai bersama tujuh anggota keluarganya akan berujung musibah. Hari itu, Debora yang tengah hamil diajak Ruben jalan-jalan ke Tukad Unda. Wempi juga ikut bersama sanak saudara yang lain.
Sore itu, mereka membasuh diri di sisi barat. Dari kejauhan tiga remaja perempuan terlihat duduk-duduk. Lalu, sekitar pukul 15.00 Wita ketiganya hilang dari pandangan Wempi.
“Mereka sudah tidak ada harapan lagi. Cuma tangannya yang muncul, minta-minta pertolongan. Jadi dengan spontanitas kami terjun ke dalam air. Kirain kami, mereka main celup-celupan (semacam lomba tahan napas) karena saling berpegangan tangan. Kami lihat begitu lama sedikit, ternyata minta pertolongan,” cerita Wempi.
Para pelajar SMP tersebut ditolong secara terpisah. Wempi menarik dua remaja yang sedang berdekatan untuk digotong dengan punggungnya, sementara Ruben membawa satu remaja lainnya. Debit air yang tinggi seusai diguyur hujan, kata Wempi, mempersulit upaya penyelamatan.
“Saya muat mereka di punggung saya. Langsung renang, tapi itu pun saya masih sempat ditendes. Masih sempat menelan air. Jadi, saya angkat tangan mereka. Lepas lagi, baru saya tarik saja. Nggak mampu lagi untuk mereka di atas punggung saya,” sambung Wempi.
Wempi merasa kelelahan dan beberapa kali menelan air selama mengantar keduanya ke daratan. Laki-laki itu hampir menyerah. Wempi merasa sebuah mukjizat akhirnya berhasil menyelamat dua anak manusia itu. Namun, kerabatnya, Ruben, yang dinanti lebih dari setengah jam justru tidak juga menampakkan batang hidungnya.
Wempi menduga Ruben yang mengikuti dari belakang itu tidak kunjung bisa menghampirinya karena arus di tengah sungai yang terus bergerak memutar. Ruben mungkin tak kuasa lagi melawan arus itu.
“Ini kami faktor mujur saja. Belum-belum nasibnya di situ. Sebenarnya kami kalau mau ngomong, habis berlima di situ. Habis tenggelam sudah. Tapi belum takdirnya, jadi bertiga selamat. Saya segera cari warga di situ untuk selamatkan Ruben. Terus terang, saya tidak berani turun (ke sungai) lagi karena sudah hampir tenggelam,” ungkap Wempi yang berulang kali menatap tanah.
Ketika dua remaja yang selamat itu masih dalam isak tangisnya, warga sekitar segera berenang menyelamatkan kawan mereka bernama Ni Komang Pande Arianti dan Ruben. Di titik itu, Wempi melihat kawan seperjuangan selama tiga tahun merantau di Bali itu dibopong dengan kondisi tubuh menghitam.
Tak lama berselang, tim kepolisian datang membantu mereka. Ketiga remaja dan keluarga Wempi juga dilarikan ke RSUD Klungkung. Ruben dan Arianti dinyatakan meninggal dunia. Pada hari yang sama, jenazah Ruben dibawa ke RSUP Ngoerah untuk dititipkan sebelum nantinya akan diupacarai secara Kristen di Sumba.
Para pelajar SMP tersebut ditolong secara terpisah. Wempi menarik dua remaja yang sedang berdekatan untuk digotong dengan punggungnya, sementara Ruben membawa satu remaja lainnya. Debit air yang tinggi seusai diguyur hujan, kata Wempi, mempersulit upaya penyelamatan.
“Saya muat mereka di punggung saya. Langsung renang, tapi itu pun saya masih sempat ditendes. Masih sempat menelan air. Jadi, saya angkat tangan mereka. Lepas lagi, baru saya tarik saja. Nggak mampu lagi untuk mereka di atas punggung saya,” sambung Wempi.
Wempi merasa kelelahan dan beberapa kali menelan air selama mengantar keduanya ke daratan. Laki-laki itu hampir menyerah. Wempi merasa sebuah mukjizat akhirnya berhasil menyelamat dua anak manusia itu. Namun, kerabatnya, Ruben, yang dinanti lebih dari setengah jam justru tidak juga menampakkan batang hidungnya.
Wempi menduga Ruben yang mengikuti dari belakang itu tidak kunjung bisa menghampirinya karena arus di tengah sungai yang terus bergerak memutar. Ruben mungkin tak kuasa lagi melawan arus itu.
“Ini kami faktor mujur saja. Belum-belum nasibnya di situ. Sebenarnya kami kalau mau ngomong, habis berlima di situ. Habis tenggelam sudah. Tapi belum takdirnya, jadi bertiga selamat. Saya segera cari warga di situ untuk selamatkan Ruben. Terus terang, saya tidak berani turun (ke sungai) lagi karena sudah hampir tenggelam,” ungkap Wempi yang berulang kali menatap tanah.
Ketika dua remaja yang selamat itu masih dalam isak tangisnya, warga sekitar segera berenang menyelamatkan kawan mereka bernama Ni Komang Pande Arianti dan Ruben. Di titik itu, Wempi melihat kawan seperjuangan selama tiga tahun merantau di Bali itu dibopong dengan kondisi tubuh menghitam.
Tak lama berselang, tim kepolisian datang membantu mereka. Ketiga remaja dan keluarga Wempi juga dilarikan ke RSUD Klungkung. Ruben dan Arianti dinyatakan meninggal dunia. Pada hari yang sama, jenazah Ruben dibawa ke RSUP Ngoerah untuk dititipkan sebelum nantinya akan diupacarai secara Kristen di Sumba.
