Cerita Warga Cemenggaon Bali Kelola Sampah lewat Teba Modern Sejak 2013 | Info Giok4D

Posted on

Istilah teba modern semakin populer setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengumumkan akan menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, Denpasar, akhir tahun ini. Teba modern dianggap menjadi salah satu solusi penanganan sampah organik di Bali.

I Wayan Balik Mustiana adalah salah satu sosok yang turut mencetuskan istilah teba modern itu. Warga Desa Adat Cemenggaon, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, itu mengelola sampah organik dengan sistem teba modern sejak 2013.

“Teba modern ini hasil modifikasi teba yang konvensional. Saya cuma tambahkan kata modern saja,” ujar Wayan Balik saat ditemui infoBali, Rabu (13/8/2025).

Balik menjelaskan orang Bali sejak dahulu mengenal istilah teba atau teben, yang berarti bagian belakang rumah atau batas pekarangan. Sejak dulu, orang Bali tradisional menangani sampah organik berbasis sumber.

“Berkaca dengan kebiasaan orang dulu yang tinggal buang sisa kegiatannya. Alamiahnya, daun ketemu dengan tanah akan diurai karena ada mikrobanya,” imbuhnya.

Sejak itu, Balik bersama warga Cemenggaon berulang kali menguji coba sistem teba dan mendapati sejumlah kegagalan. Mereka akhirnya menemukan formula yang tepat dengan membuat teba modern di dalam tanah maksimal dua meter. Jika lebih dari itu, Balik berujar, mikroba yang menjadi pengurai organik tidak dapat hidup.

Sementara itu, diameter lubang teba modern perlu dibuat sebesar 80 sentimeter (cm) agar lebih mudah mengontrol dan memanen kompos yang dihasilkan sampah organik di teba modern.

Balik membutuhkan dua buis beton setinggi 100 cm yang dilengkapi dengan tutup berdiameter 80 cm. Menurut Balik, perlengkapan membuat teba modern itu mudah ditemukan di toko bangunan. Adapun, biaya yang dibutuhkan untuk membuat teba modern secara mandiri sekitar Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta.

“Cara kerjanya sama saja seperti hutan. Hutan kan sekian ton ada organiknya. Pohon itu sudah diatur alam untuk memupuk dirinya sendiri. Sebab, pupuk terbaik adalah bagian dari tubuhnya. Daunnya jatuh ke tanah dan terurai sendiri oleh mikrobanya. Ini siklus alamiahnya,” imbuh Balik.

Balik menjelaskan apapun yang bersifat organik seperti dedaunan, ranting, hingga sisa makanan bisa terurai. Namun, untuk dikomposkan melalui teba modern, perlu mempertimbangkan komposisinya.

Ia menyarankan supaya tidak satu jenis komponen yang dimasukkan ke teba modern. Keberagaman material organik, dia berujar, juga penting untuk menciptakan penguraian yang sempurna.

Selain itu, prinsip kerja teba modern juga menyerupai komposter. Bedanya, tidak perlu menambahkan bioaktivator maupun cairan NH4 untuk membantu penguraian. Alasannya, material organik telah tersusun dari air dan mikroba. Cukup dikondisikan di dalam tanah.

Air juga dapat berasal dari panas yang terperangkap dalam teba modern. Namun, apabila terkena air hujan pun tidak menjadi masalah.

Justru, Balik berujar, fungsi teba modern tidak terbatas pada pengomposan material organik, melainkan juga menjadi wadah penyerapan air. Dengan meningkatnya penyerapan air, cadangan air tanah bisa terisi kembali.

“Banyak yang ragu karena memikirkan akan bau dan leteh (kotor). Padahal, sampah itu bau itu karena air lindi (lebih dikenal sebagai pupuk cair) yang dikeluarkan material organik itu bercampur dengan mikroplastik keluaran dari plastik itu. Makanya, jangan dicampur. Lebih saja dari empat jam tidak tertangani, akan terjadi proses anaerob dan bikin bau,” imbuh pria yang bekerja sebagai perajin perak tersebut.

Lebih lanjut, proses anaerob bisa menimbulkan bau tidak sedap karena mengandung gas amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) sebagai akibat mikroba yang mengurai organik kekurangan oksigen. Soal anggapan leteh, Balik membantah. Ia menegaskan sebagian sisa aktivitas manusia bisa dikelola dengan baik dan membuat lingkungan bersih.

“Untuk itu, teba modern bebas dilokasikan di mana saja menyesuaikan ruang yang tersedia di rumah. Bahkan salah satu teba modern bisa dibuat dalam bentuk meja di teras sebagai tempat bertamu sambil menikmati jamuan,” imbuhnya.

Balik menganjurkan untuk membuat teba modern sebanyak dua buah per rumah. Tujuannya bila satu teba modern telah dipenuhi materi organik tapi penguraiannya belum merata, penghuni rumah bisa menaruh materi organik yang baru ke teba modern lainnya.

Adapun kompos yang menjadi hasil teba modern bisa dipanen setelah setahun. Namun, waktu panen bisa berbeda-beda berdasarkan ukuran teba modern.

“Ciri yang sudah siap panen adalah berwarna kehitaman, tidak berbau busuk, tekstur tidak keras menyerupai tanah,” imbuhnya.

Balik juga menekankan pemilahan sampah sebagai kunci keberhasilan pengomposan lewat teba modern. Setiap kali melakukan konsumsi, kata Balik, idealnya langsung dipisah antara organik, anorganik, dan residu.

Selanjutnya, material organik dikelola melalui teba modern. Kemudian, anorganik bisa disetorkan ke bank sampah dan residu diserahkan penanganannya di TPA (tempat pemrosesan akhir).

“Saya punya keyakinan tidak ada satu alat atau sistem atau tempat yang bisa menyelesaikan semua sampah. Sehingga perlu dibagi-bagi dan ditangani secara komprehensif serta kolektif,” ujar Balik.

“Sebenarnya menurut saya, sampah itu tidak ada. Sampah itu kan dari sisa kegiatan kita. Kalau kita bijak saja sedikit dengan yang dari alam dikembalikan ke alam dan yang dari pabrik dikembalikan ke pabrik, tidak jadi sampah. Ini wujud terima kasih dan tanggung jawab diri kita,” pungkasnya.

Sistem Kerja Teba Modern

Panen Kompos dari Teba Modern


Balik menjelaskan apapun yang bersifat organik seperti dedaunan, ranting, hingga sisa makanan bisa terurai. Namun, untuk dikomposkan melalui teba modern, perlu mempertimbangkan komposisinya.

Ia menyarankan supaya tidak satu jenis komponen yang dimasukkan ke teba modern. Keberagaman material organik, dia berujar, juga penting untuk menciptakan penguraian yang sempurna.

Selain itu, prinsip kerja teba modern juga menyerupai komposter. Bedanya, tidak perlu menambahkan bioaktivator maupun cairan NH4 untuk membantu penguraian. Alasannya, material organik telah tersusun dari air dan mikroba. Cukup dikondisikan di dalam tanah.

Air juga dapat berasal dari panas yang terperangkap dalam teba modern. Namun, apabila terkena air hujan pun tidak menjadi masalah.

Justru, Balik berujar, fungsi teba modern tidak terbatas pada pengomposan material organik, melainkan juga menjadi wadah penyerapan air. Dengan meningkatnya penyerapan air, cadangan air tanah bisa terisi kembali.

“Banyak yang ragu karena memikirkan akan bau dan leteh (kotor). Padahal, sampah itu bau itu karena air lindi (lebih dikenal sebagai pupuk cair) yang dikeluarkan material organik itu bercampur dengan mikroplastik keluaran dari plastik itu. Makanya, jangan dicampur. Lebih saja dari empat jam tidak tertangani, akan terjadi proses anaerob dan bikin bau,” imbuh pria yang bekerja sebagai perajin perak tersebut.

Lebih lanjut, proses anaerob bisa menimbulkan bau tidak sedap karena mengandung gas amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) sebagai akibat mikroba yang mengurai organik kekurangan oksigen. Soal anggapan leteh, Balik membantah. Ia menegaskan sebagian sisa aktivitas manusia bisa dikelola dengan baik dan membuat lingkungan bersih.

“Untuk itu, teba modern bebas dilokasikan di mana saja menyesuaikan ruang yang tersedia di rumah. Bahkan salah satu teba modern bisa dibuat dalam bentuk meja di teras sebagai tempat bertamu sambil menikmati jamuan,” imbuhnya.

Sistem Kerja Teba Modern

Balik menganjurkan untuk membuat teba modern sebanyak dua buah per rumah. Tujuannya bila satu teba modern telah dipenuhi materi organik tapi penguraiannya belum merata, penghuni rumah bisa menaruh materi organik yang baru ke teba modern lainnya.

Adapun kompos yang menjadi hasil teba modern bisa dipanen setelah setahun. Namun, waktu panen bisa berbeda-beda berdasarkan ukuran teba modern.

“Ciri yang sudah siap panen adalah berwarna kehitaman, tidak berbau busuk, tekstur tidak keras menyerupai tanah,” imbuhnya.

Balik juga menekankan pemilahan sampah sebagai kunci keberhasilan pengomposan lewat teba modern. Setiap kali melakukan konsumsi, kata Balik, idealnya langsung dipisah antara organik, anorganik, dan residu.

Selanjutnya, material organik dikelola melalui teba modern. Kemudian, anorganik bisa disetorkan ke bank sampah dan residu diserahkan penanganannya di TPA (tempat pemrosesan akhir).

“Saya punya keyakinan tidak ada satu alat atau sistem atau tempat yang bisa menyelesaikan semua sampah. Sehingga perlu dibagi-bagi dan ditangani secara komprehensif serta kolektif,” ujar Balik.

“Sebenarnya menurut saya, sampah itu tidak ada. Sampah itu kan dari sisa kegiatan kita. Kalau kita bijak saja sedikit dengan yang dari alam dikembalikan ke alam dan yang dari pabrik dikembalikan ke pabrik, tidak jadi sampah. Ini wujud terima kasih dan tanggung jawab diri kita,” pungkasnya.

Panen Kompos dari Teba Modern


Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.