Buku Iblis Tanah Suci Karya Arianto Adipurwanto Masuk Daftar Panjang KSK 2025

Posted on

Buku berjudul Iblis Tanah Suci karya sastrawan Lombok, Arianto Adipurwanto (32) masuk dalam Daftar Panjang Kategori Kumpulan Cerpen Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2025. Ini adalah penghargaan bergengsi di dunia kesusastraan di Indonesia. Pengumuman disampaikan pada 17 Mei lalu.

Arianto mengaku bangga bisa masuk 10 besar peraih penghargaan kategori kumpulan cerpen. Apalagi, ini kali kedua karya Arianto menyabet penghargaan KSK. Menurutnya, hal itu tidak mudah karena harus melewati serangkaian penjurian dan bersaing bersama para penulis lainya di Indonesia.

“KSK sendiri merupakan ajang penghargaan sastra yang bergengsi di Indonesia, masuk sebagai 10 besar atau daftar panjang di KSK tidaklah mudah harus bersaing dengan karya-karya yang terbukti kualitasnya,” kata Arianto, diwawancarai, Minggu (26/5/2025).

“Tentu sangat bangga, dan ini adalah karya saya yang kedua kalinya masuk di KSK, sebelumnya tahun 2019 masuk di lima besar judulnya Bugiali,” sambung cerpenis asal Lombok Utara itu.

Selama ini, Arianto melanjutkan, dalam menulis sastra ia kerap menggunakan pendekatan yang bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat di Lelenggo, kampung halamannya di Lombok Utara. Karya-karyanya merupakan potret budaya dan tradisi masyarakat di sana.

“Selama ini saya menjadikan Kampung Lelenggo sebagai miniatur dunia, apa yang terjadi di Lombok maupun di luar sana itu saya tulis dalam bentuk cerpen dengan Lelenggo sebagai latarnya,” kata Arianto.

Kumpulan cerpen Iblis Tanah Suci terdiri dari puluhan judul. Namun, ada satu judul cerpen yang membuat dirinya merasa puas dan ingin membuat tema serua, yakni cerpen Harga Sepotong Kaki.

Menurut Arianto, cerpen itu keluar dari kebiasaannya selama ini dalam menulis tradisi dan cerita mistikal lokal di daerahnya.

“Dari judul cerpen Harga Sepotong Kaki ini saya mencoba keluar untuk mengangkat isu-isu yang lebih kekinian, seperti isu politik, pembangunan desa hingga bagaimana kehidupan masyarakat setelah adanya televisi masuk di kampung saya. Berbagai hal itu saya ramu kemudian saya jadikan kesatuan dalam cerpen,” tutur Arianto.

Dia juga mengungkapkan perjalanan panjang di dunia kepenulisan yang dimulai sejak duduk di bangku SMA. Dia mengaku banyak belajar dari Lintang Sugianto, penulis buku Matahari di Atas Gili. Kemudian, Arianto mencoba menulis sebuah cerpen dan masuk di antologi bersama pelajar se-NTB.

“Dari sana saya mulai tertarik dan mendalami dunia menulis, kemudian di bangku kuliah saya masuk di jurusan Pendidikan Guru Bahasa Indonesia di Universitas Mataram,” imbuh Arianto.

Sewaktu kuliah, ia kemudian dipertemukan dengan Kiki Sulistyo (47), seorang sastrawan asal Mataram yang juga salah satu pendiri komunitas Akarpohon. Arianto mengatakan titik balik dirinya menjadi penulis ketika ia bergabung di komunitas Akarpohon.

Hal itu membuatnya sadar selama ini banyak hal menarik di kampung halamanya yang luput dari imajinasinya. Sejak itulah Arianto mencoba menulis tradisi dan kehidupan masyarakat yang berada di kampung halamannya.

Kemudian, pada 2018 terbitlah buku kumpulan cerita pendek pertamanya yang berjudul Bugiali dan pada 2024 buku keduanya diterbitkan yang berjudul Iblis Tanah Suci.

Sastrawan Lombok lainnya juga terima penghargaan, di halaman selanjutnya


Selain Arianto, Kiki Sulistyo juga meraih penghargaan KSK 2025 pada kategori pusi dengan buku kumpulan puisi Musik Akhir Zaman. Ini merupakan penghargaan kedua setelah buku kumpulan puisi Di Ampenan Apalagi Yang Kau Carikarya menjadi pemenang pada KSK 2017.

Sastrawan asal Kota Mataram tersebut mengungkapkan karyanya lebih banyak mengangkat tema tentang memorial ketika peralihan rezim pemerintahan di Indonesia dari orde baru ke reformasi. Kiki mengakui selama ini ia menulis tentang puisi maupun prosa dengan latar tersebut dikarenakan ia sendiri mengalami masa transisi ketika itu.

“Saya secara pribadi sebetulnya merasakan peralihan dari era sebelum reformasi ketika di masa orde baru pada 1998. Ada juga situasi ketakutan dan rasa trauma yang mendalam dari tokoh-tokoh dalam cerpen yang saya tulis, seperti peristiwa 1965 yang mengakibatkan perasaan trauma secara turun-temurun, seperti pembantaian-pembantaian pada masa itu,” tutur Kiki saat diwawancarai infoBali.

Salah satunya cerpen Lubang. Pada cerpen tersebut ada seorang ibu yang selalu takut ketika melihat lubang, begitu juga ketika melihat truk-truk besar yang melintas, rasa takut dan panik dari trauma yang mendalam membuat hubungan tokoh ibu tersebut dengan anaknya menjadi rumit.

“Rata-rata tema seperti itu yang saya tulis meskipun dengan gaya yang berbeda-beda, dan menulis cerita-cerita masa lalu dengan cara tertentu,” ujar Kiki.

Dia mengungkapkan pada 2009 bersama kawan-kawannya mendirikan komunitas Akarpohon sebagai wadah berkumpulnya para pegiat sastra di Lombok. Dalam perjalanannya, komunitas Akarpohon telah banyak melahirkan penulis di NTB yang meraih penghargaan KSK.

Diketahui, Kusala Sastra Khatulistiwa merupakan penghargaan sastra bergengsi ini di inisiasi oleh Richard Oh pada 2001. Awalnya, bernama Khatulistiwa Literary, tapi kemudian berubah menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2014. Sastra Indonesia

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *