Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) fokus mengatasi dua masalah utama di Nusa Tenggara Timur (NTT). Yakni, kemiskinan ekstrem dan stunting (balita kontet). Hal ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT.
Deputi Bidang Penggerakan dan Peran Serta Masyarakat BKKBN, Sukaryo Teguh Santoso, sasaran utama intervensi adalah keluarga, terutama ibu hamil, balita, dan calon pengantin.
“Posyandu memiliki peran penting melalui tim pendamping keluarga yang bertugas mengedukasi masyarakat, menyiapkan data yang baik, serta memfasilitasi pelayanan kesehatan,” jelas Santoso dalam kegiatan Program Bangga Kencana untuk Penghapusan Kemiskinan Ekstrem dan Percepatan Penurunan Stunting, di Hotel Aston Kupang, Senin (27/10/2025).
Santoso menegaskan kegiatan di NTT tersebut merupakan bagian dari koordinasi dan kolaborasi nasional untuk memastikan seluruh komitmen dan rencana aksi berjalan efektif.
“Dalam lima tahun ke depan, kita berharap kemiskinan ekstrem dapat dihapuskan. Pertemuan hari ini menjadi momentum untuk memastikan semua komitmen berjalan dan rencana aksi disepakati bersama,” bebernya.
Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena menegaskan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama dalam mengatasi kemiskinan ekstrem dan stunting di daerah itu.
“Perjuangan menurunkan kemiskinan ekstrem dan stunting di NTT bukan sekadar urusan administratif, melainkan gerakan kemanusiaan bersama untuk masa depan generasi NTT,” ujar Melki, sapaannya.
“Ini tentang anak-anak kita, tentang keluarga kita, tentang masa depan manusia NTT,” imbuh dia.
Melki mengungkapkan tingkat kemiskinan yang dihadapi NTT saat ini sebesar 19,48 persen dan angka stunting 37 persen. Kondisi itu, tidak bisa diselesaikan oleh satu institusi saja, melainkan membutuhkan kerja sama menyeluruh antarsektor.
“Data ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin kehidupan warga kita yang masih berjuang setiap hari. Karena itu, kita harus bekerja bersama untuk memastikan setiap anak NTT tumbuh sehat, bahagia, dan penuh harapan,” terang politikus Golkar ini.
Menurutnya, kemiskinan ektrem dan stunting berakar pada ketimpangan akses terhadap pangan bergizi, air bersih, pendidikan, dan layanan kesehatan di wilayah pedesaan dan kepulauan.
Namun, dia bersyukur saat ini, berdasarkan data BKKBN, jumlah keluarga berisiko stunting (KRS) di NTT menurun dari 431.247 keluarga pada 2022 menjadi 331.116 keluarga pada 2024.
Ada tiga kabupaten dengan angka stunting tertinggi. Yakni, Kabupaten Sumba Barat Daya, Timor Tengah Selatan, dan Manggarai Timur.
“Masalah stunting tersebut juga terjadi akibat adanya kemiskinan esktrem, karena itu pertemuan yang menghadirkan akademisi, perguruan tinggi diharapkan memberikan dampak yang positif bagi masalah stunting di NTT,” tandas Ketua DPD Partai Golkar NTT itu.






