Bisnis Kuliner Nabati Tak Sekadar Tren, Ini Tantangan di Baliknya

Posted on

Bisnis kuliner terus berinovasi seiring perubahan gaya hidup masyarakat. Beragam isu kesehatan turut mendorong pelaku usaha menghadirkan alternatif pangan yang lebih diperhatikan dari sisi bahan dan proses pengolahan.

Kolaborasi untuk Desa (KooD) menjadi salah satu pelaku bisnis kuliner yang menaruh perhatian besar pada riset bahan pangan. Riset dilakukan sejak tahap seleksi bahan, proses pengolahan, hingga penyajian kepada konsumen.

“Kami memang lihat tren di dunia, memang secara internasional, orang lebih punya akses ke informasi, lebih bisa mendalami sains dan kesehatan, paham mana yang lebih baik untuk dirinya, dan semakin banyak orang yang tidak perlu diedukasi oleh pihak ketiga, bahwa makanan plant-based itu better for you,” jelas Pemilik KooD, Iput Putri, saat diwawancarai infoBali, (14/12/2025).

Menurut Iput, kebutuhan terhadap makanan berbasis nabati menjadi relevan di Indonesia, di tengah kebiasaan konsumsi makanan instan yang murah dan lezat, namun kerap mengabaikan kandungan bahan. Karena itu, KooD memilih strategi bisnis dengan mengutamakan bahan pangan nabati tanpa unsur hewani untuk meminimalkan penggunaan minyak.

“Jadi, di sekitar kita pasti banyak yang apakah itu mereka ada diabetes, kemudian darah tinggi, asam urat, banyak hal-hal lain sebenarnya, yang menurut kami bisa dipreventasi, bisa dihindari kalau asupan sayur bisa ditingkatkan jauh-jauh dan asupan minyak bisa ditekan sebelum sakit,” ungkap Iput.

Strategi tersebut diharapkan mampu menciptakan keberlanjutan, baik bagi lingkungan maupun kualitas hidup masyarakat. KooD ingin pengalaman makan yang dirasakan pelanggan dapat berkembang menjadi pola makan dan gaya hidup.

Iput menceritakan salah satu pelanggan yang awalnya datang ke KooD karena keluhan asam lambung. Pelanggan tersebut mencoba menu diet sesuai kebutuhannya hingga akhirnya hampir setiap hari berkunjung ke KooD dan mulai belajar memasak sendiri di rumah.

“Jadi dia mulai ngicip-ngicip sedikit, sekadar jajan yang menyenangkan atau dianggap obat, sampai ke makanan pokok. Ga terbatas makan di KooD, tapi lebih ke apa yang ada di rumah, pola makan yang bisa dirubah atau diperbaiki, dan manfaatnya bisa berkesinambungan di tempat lain, di jam makan lain, ketika mereka nggak di KooD,” tambah Iput.

Konsistensi pengelolaan bahan pangan menjadi tantangan tersendiri. Iput mengakui tidak mudah menemukan distributor bahan pangan yang sesuai standar. KooD melakukan riset pengelolaan untuk menemukan teknik terbaik menjaga kualitas dan daya simpan bahan.

Mayoritas kebutuhan bahan pangan dipenuhi dengan berbelanja langsung ke pasar setiap pagi. Untuk bahan tertentu yang sulit didapat, KooD mencari langsung dari petani lokal dengan stok besar jika kualitasnya telah diketahui baik. Langkah ini dilakukan untuk meminimalkan perpindahan tangan yang berpotensi menurunkan kualitas bahan.

“Itu nggak bisa direncanain, nggak bisa bilang bahwa kalau ada lagi saya ambil sekian banyak, karena rantai pasokannya belum established. Jadi, kalau janjian atau transaksional atau kontraktual itu kita pasti nggak bisa. Karena itu bener-bener tergantung hasilnya,” ungkap Iput.

Pengecekan kualitas bahan dilakukan secara menyeluruh, mulai dari ukuran, tekstur, hingga rasa. KooD mengolah bahan dari tahap setengah jadi hingga produk akhir secara mandiri.

“Kacang itu kalau dari wujudnya bagus, setelah disangrai baru keliatan jelek, di-oven keliatan bagus, setelah diolah, di-blend jadi milk atau peanut butter baru terasa pahit. Jadi kalau kita proses 30 kilo, ada 4 sampai 5 biji kacang yang nggak bagus akan bikin pahit ke satu batch keseluruhan,” ujar Iput.

Selain pengadaan dan operasional, riset menjadi komponen utama dalam bisnis KooD. Mereka memiliki divisi riset dapur yang fokus mengolah bahan baku agar dapat dimanfaatkan secara optimal.

“Tiap hari kita riset, tapi bukan riset meracik bumbu ya, lebih banyaknya riset pengolahan pangan dari bahan baku ke yang bisa jadi guna,” kata Iput.

Teknik pengolahan bahan dilakukan dengan berbagai cara, seperti dijemur, dibekukan, atau dioven, dengan perhatian khusus pada suhu penyimpanan. KooD mengutamakan kesegaran bahan demi menjaga konsistensi kualitas menu.

Kondisi tersebut terkadang memicu keluhan pelanggan ketika menu tertentu tidak tersedia akibat ketiadaan bahan baku.

“Karena memang prioritas harus di kualitas. Kalau salah bahan baku sedikit sulit. Dulu kalau kacang tanah aja, kadang kita udah bikin sampai selai, nggak di jual, karena nggak bagus,” terang Iput.

KooD juga memilih tidak mengganti bahan yang habis dengan bahan lain dari luar, meski tersedia opsi organik dengan harga lebih mahal. Mereka tetap mengutamakan olahan sendiri dan menyesuaikan menu dengan ketersediaan bahan musiman.

“Kalau ternyata panennya gagal kan kita nggak bisa nyalahin siapa, yaudah makan aja dengan apa yang ada, bukan musim mangga ya jangan minta mangga,” kata Iput.

Di tengah keterbatasan bahan, KooD terus melakukan inovasi menu. Salah satunya dengan merilis produk olahan mangga, mulai dari yogurt, smoothie, hingga gelato.

“Kita baru bisa keluar mangga, padahal musim mangganya udah bulan Juli, Agustus. Kita beli banyak, udah kita kupas dan kita freeze,” ujar Iput.

Selain menciptakan produk baru, KooD juga berinovasi pada cita rasa. Salah satunya melalui produk mie yamin yang kemudian mengalami penyesuaian nama mengikuti selera lokal Bali. Perubahan tersebut dilakukan setelah melalui riset bahan baku, tahap pengujian, dan voting internal tim.

Pengalaman Pelanggan dan Pola Makan

Riset Bahan Pangan

Kontrol Kualitas

Tantangan Konsistensi Menu

Gambar ilustrasi