Satu dari 14 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus demonstrasi di depan Polda Bali dan Renon, Denpasar, akan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar pada Kamis (13/11/2025).
“Sesuai jadwal yang kami lihat di aplikasi SIPP PN Denpasar, dari lima klien kami, baru satu yang akan disidang yakni Fairus,” kata Ignatius Radhite, salah satu tim dari Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi, di kantor LBH Bali, Rabu (12/11/2025).
“Nah soal yang lainnya, kami belum tahu, karena kami belum dapat informasi, termasuk belum menerima berkas,” lanjutnya.
Fairus (20), seorang driver ojek online, menjadi terdakwa pertama dalam kasus demo yang berlangsung pada 31 Agustus 2025. Namun, menjelang persidangan, pihak Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi mengaku belum menerima berkas perkara kliennya.
“Jadi kita sudah minta turunan BAP-nya untuk Fairus, cuman sampai sekarang belum kita terima. Kita sudah minta 2-3 hari lalu, katanya BAP diberikan besok saat persidangan,” sambung Made ‘Ariel’ Suardana.
Selain Fairus, empat orang remaja berstatus pelajar juga menjadi tersangka dan telah mendapatkan pendampingan hukum. Mereka kini berstatus tahanan kota.
“Kita mendampingi lima orang saja, termasuk Fairus. Namun empat orang menjadi tahanan kota, sedangkan Fairus ditahan di Lapas Kerobokan,” jelas Ignatius.
Keempat pelajar itu masing-masing bernama I Putu Agus Sujaya Dewa (18), I Komang Ragil Tri Laksamana (18), I Ketut Mardiana (19), dan Andre Surya Dinata (18). Kejaksaan mempertimbangkan status mereka sebagai pelajar, dengan alamat dan penjamin yang jelas, serta kebutuhan pendidikan.
Para tersangka dijerat Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap barang dan orang secara bersama-sama. Tim advokasi menyatakan akan fokus mendampingi para pelajar yang masih berstatus remaja.
Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi mengecam proses hukum terhadap para peserta aksi demonstrasi pada 30 Agustus 2025.
Ignatius Radhite menilai, aksi tersebut merupakan bentuk ekspresi publik, bukan tindakan yang merusak tatanan konstitusi.
“Aksi itu kan sebagai wujud kekecewaan masyarakat terhadap sempitnya ruang demokrasi dan meningkatnya praktik kekerasan negara terhadap warga yang menyuarakan pendapatnya,” ujarnya.
Menurutnya, aksi masyarakat seharusnya tidak berujung pada penahanan atau proses hukum. Ia menyebut, tuntutan warga saat itu berkaitan dengan ketimpangan ekonomi, tata kelola lingkungan, dan pembungkaman suara kritis.
Demonstrasi itu juga disebut sebagai bentuk solidaritas untuk meminta pertanggungjawaban Polri atas kematian Affan, driver ojol.
Koalisi juga mendokumentasikan sejumlah dugaan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan dalam mengendalikan massa.
“Ada beberapa tindakan seperti penggunaan gas air mata yang berlebihan, penggunaan peluru karet yang tidak terukur, penyisiran dan penggeledahan ke rumah,” sambungnya.
Ignatius juga menyebut adanya penyitaan ratusan barang milik massa aksi, penyedotan data alat komunikasi, kekerasan fisik, hingga intimidasi terhadap jurnalis.
Ia menilai, dari 14 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, empat di antaranya masih di bawah umur. Proses penangkapan dan penggeledahan disebut dilakukan tanpa surat resmi, tanpa pendampingan hukum, dan tanpa pemberitahuan kepada keluarga.
“Bahkan kita dibatasi untuk akses komunikasi, keluarga dan kuasa hukum juga tidak kunjung diberikan berkas perkara lengkap sampai akhirnya berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan,” imbuhnya.
Koalisi menilai penetapan tersangka terhadap massa aksi sebagai bentuk tindakan anti-demokrasi.
“Padahal konstitusi sudah menjamin, warga negara memiliki hak untuk berekspresi dan menyampaikan kritik terhadap jalannya penyelenggaraan negara yang jauh dari amanat konstitusi,” tegas Ignatius.
Ignatius Radhite bersama tim Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi menyampaikan lima tuntutan dalam kasus ini, yakni:
“Kami menegaskan, kebebasan berpendapat inti dari demokrasi. Massa aksi bukan pelaku kerusuhan, tetapi warga yang menggunakan haknya untuk bersuara terhadap ketidakadilan,” pungkasnya.
Kritik atas Proses Hukum
Dugaan Pelanggaran HAM
Lima Tuntutan Koalisi
Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi mengecam proses hukum terhadap para peserta aksi demonstrasi pada 30 Agustus 2025.
Ignatius Radhite menilai, aksi tersebut merupakan bentuk ekspresi publik, bukan tindakan yang merusak tatanan konstitusi.
“Aksi itu kan sebagai wujud kekecewaan masyarakat terhadap sempitnya ruang demokrasi dan meningkatnya praktik kekerasan negara terhadap warga yang menyuarakan pendapatnya,” ujarnya.
Menurutnya, aksi masyarakat seharusnya tidak berujung pada penahanan atau proses hukum. Ia menyebut, tuntutan warga saat itu berkaitan dengan ketimpangan ekonomi, tata kelola lingkungan, dan pembungkaman suara kritis.
Demonstrasi itu juga disebut sebagai bentuk solidaritas untuk meminta pertanggungjawaban Polri atas kematian Affan, driver ojol.
Koalisi juga mendokumentasikan sejumlah dugaan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan dalam mengendalikan massa.
“Ada beberapa tindakan seperti penggunaan gas air mata yang berlebihan, penggunaan peluru karet yang tidak terukur, penyisiran dan penggeledahan ke rumah,” sambungnya.
Ignatius juga menyebut adanya penyitaan ratusan barang milik massa aksi, penyedotan data alat komunikasi, kekerasan fisik, hingga intimidasi terhadap jurnalis.
Ia menilai, dari 14 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, empat di antaranya masih di bawah umur. Proses penangkapan dan penggeledahan disebut dilakukan tanpa surat resmi, tanpa pendampingan hukum, dan tanpa pemberitahuan kepada keluarga.
“Bahkan kita dibatasi untuk akses komunikasi, keluarga dan kuasa hukum juga tidak kunjung diberikan berkas perkara lengkap sampai akhirnya berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan,” imbuhnya.
Koalisi menilai penetapan tersangka terhadap massa aksi sebagai bentuk tindakan anti-demokrasi.
“Padahal konstitusi sudah menjamin, warga negara memiliki hak untuk berekspresi dan menyampaikan kritik terhadap jalannya penyelenggaraan negara yang jauh dari amanat konstitusi,” tegas Ignatius.
Ignatius Radhite bersama tim Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi menyampaikan lima tuntutan dalam kasus ini, yakni:
“Kami menegaskan, kebebasan berpendapat inti dari demokrasi. Massa aksi bukan pelaku kerusuhan, tetapi warga yang menggunakan haknya untuk bersuara terhadap ketidakadilan,” pungkasnya.






