Sejumlah peristiwa di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi sorotan pembaca infoBali pekan ini, Senin (21/4/2025) hingga Sabtu (26/4/2025). Mulai dari guru honorer curi sembako di Kupang, balita diduga jadi korban malapraktik di Bima, hingga akal bulus ‘Walid Lombok’ cabuli santriwati. Berikut rangkumannya.
Seorang guru honorer berinisial EN ditangkap polisi karena mencuri sejumlah sembako di sebuah toko di Jalan HR Koroh, Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (21/4/2025) siang.
Penangkapan dilakukan oleh Bhabinkamtibmas Kelurahan Sikumana, Bripka Marsel Nitte, setelah aksi EN terekam kamera pengawas atau CCTV toko.
“Ya (pelakunya) honorer guru SD, sudah diamankan sekitar pukul 15.30 Wita kemarin,” ujar Kapolresta Kupang Kota, Kombes Aldinan Manurung, kepada infoBali, Selasa (22/4/2025).
Aldinan menjelaskan, EN datang ke toko dan mengambil sejumlah sembako tanpa membayar. Aksinya yang terekam CCTV lalu dilaporkan pemilik toko ke Polsek Maulafa. Polisi kemudian melakukan penelusuran dan menangkap EN.
Saat diperiksa, EN mengaku sudah dua kali mencuri di dua toko berbeda. Seluruh aksinya terekam kamera CCTV. Akibat pencurian itu, pemilik toko mengalami kerugian sekitar Rp 2,25 juta.
“Barang-barang yang dicuri adalah sembako serta barang keperluan sehari-hari yang akan digunakan sendiri oleh terduga pelaku,” tutur Aldinan.
Meski sempat ditangkap, kasus ini tidak dilanjutkan ke jalur hukum. EN mengakui perbuatannya dan bersedia mengganti kerugian yang dialami pemilik toko, sehingga kasus diselesaikan secara damai.
“Kasusnya telah diselesaikan secara damai oleh Bhabinkamtibmas Sikumana. Kami tidak hanya menyelesaikan setiap kasus yang terjadi melalui jalur hukum yang ada namun dapat diselesaikan melalui penyelesaian secara damai,” pungkas Aldinan.
EM (50), seorang warga Desa Hoi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, meninggal dunia dengan gejala rabies pada 13 April 2025. EM punya riwayat digigit anjing rabies dua tahun lalu, tepatnya Mei 2023.
Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Kabupaten TTS, Ria Tahun, mengungkapkan EM digigit anjing liar saat sedang membersihkan kebun milik mereka di Desa Tetaf, Kecamatan Kuatnana. Lokasi gigitan bukan area vital sehingga memungkinan penyebaran virus rabies hingga ke otak terjadi dalam jangka waktu lama.
“Korban digigit anjing tak bertuan di bagian dada sebanyak tiga kali yakni dua luka dalam dan satu luka garuk,” jelas Ria saat dihubungi infoBali, Kamis (24/4/2025).
Menurut Ria, setelah digigit, EM tidak mencuci luka sesuai prosedur. Dia juga tak pernah melaporkan kejadian tersebut ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan pelayanan vaksinasi.
Untuk itu, Dinas Kesehatan Kabupaten TTS berupaya terus mengimbau warga untuk waspada terhadap gigitan anjing. Apalagi, TTS merupakan kabupaten yang ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies sejak 2023.
“Kami tetap mengimbau agar masyarakat tetap waspada terhadap anjing yang diduga rabies, dan juga mencuci tangan serta melaporkan ke fasilitas kesehatan bila digigit anjing,” tutur Ria.
Ria juga menjelaskan kronologi EM dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas Niki-Niki dengan gejala rabies pada pukul 08.00 Wita, Sabtu (12/4/2025). Saat itu, EM mengeluh nyeri ulu hati dan muntah-muntah. Mulai muncul gejala takut air, cahaya, dan udara.
“Setelah memperoleh informasi tersebut, petugas surveilans menyampaikan untuk melakukan pengkajian lebih mendalam terkait kronologi gigitan dan tata laksana terhadap pasien tersebut setelah digigit,” ujar Ria.
Saat itu, kondisi EM makin parah. Dia berhalusinasi dan memberontak. “Pasien memberontak dan berlari keluar ruangan dan mencabut infus sendiri. Pasien kemudian berlari hingga keluar lingkungan puskesmas dan masuk ke dalam semak-semak,” urainya.
Melihat kejadian itu, Ria berujar, petugas kesehatan langsung menghubungi aparat kepolisian dan TNI untuk membantu mengamankan pasien. EM difiksasi, tapi terus berontak dan melepas ikatan. Dia melarikan diri, mencabut pipa air, dan mengangkat batu besar. Keluarganya memberi air untuk minum tapi menolak.
“Karena kekuatan pasien yang sangat agresif pasien tidak dapat diangkat ke dalam ruangan karena korban juga meludah semua orang yang mendekat sehingga kurang lebih 1 jam pasien berada di depan mes dokter,” beber Ria.
Selanjutnya, pada pukul 17.20 Wita di hari yang sama, EM mengeluh lapar dan meminta makan. “Keluarga kemudian memberi roti dan makanan, tapi pasien tetap tidak bisa meminum air yang diberikan. Sampai dengan pukul 19.00 Wita, korban masih dalam pemantauan dan masih berteriak dalam ruangan,” papar Ria.
Kemudian, pada Minggu (13/4/2025) pukul 01.25 Wita, petugas kesehatan memonitoring ulang kondisi EM yang tampak tenang, tapi berbicara tidak terarah. Akhirnya, berselang dua jam kemudian, EM meninggal dunia.
“Sekitar pukul 04.20 Wita, petugas kesehatan mendapat informasi dari keluarga kalau korban sudah meninggal dunia sejak pukul 03.30 Wita,” tandas Ria.
Tangan kanan Arumi, balita 14 bulan asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), terancam diamputasi. Saat ini, Arumi masih menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi NTB, Mataram.
Ayah Arumi, Andika, mengatakan dokter telah menyarankan agar tangan kanan anaknya diamputasi lantaran mengalami infeksi parah berdasarkan hasil laboratorium dan observasi medis.
“Biar infeksinya tidak menjalar ke organ lain, makanya disarankan untuk operasi amputasi,” ujar Andika saat dikonfirmasi infoBali, Kamis (24/4/2025).
Andika mengungkapkan seharusnya amputasi dilakukan sejak Selasa (21/4/2025), setelah hasil lab keluar. Namun ia meminta penundaan selama dua hingga tiga hari, karena masih berharap adanya keajaiban dan ingin bermusyawarah dengan keluarga besar.
“Kalau tidak ada perubahan dalam beberapa hari ke depan, terpaksa saya menyetujui untuk operasi amputasi. Ini demi keselamatan anak saya,” tambahnya.
Kondisi Arumi saat ini belum menunjukkan perkembangan signifikan. Infus yang sebelumnya dipasang di tangan dan kaki, kini telah dipasang di bagian dada.
Kronologi Dugaan Malapraktik
Kasus ini bermula saat Arumi dibawa ke Puskesmas Bolo pada Kamis (10/4/2025) karena demam dan batuk. Menurut Andika, saat itu perawat langsung memasang infus di tangan kanan Arumi. Namun, proses pemasangan infus disebut mengalami kendala.
“Aboket (jarum infus) yang dipakai untuk pemasangan infus pas tusukan pertamanya gagal, tapi aboketnya tidak diganti lagi ketika dicoba memasang ulang. Malah dipakai aboket yang sama,” jelas Andika.
Tiga hari kemudian, tangan kanan Arumi mengalami pembengkakan di bagian belakang telapak. Istri Andika telah menginformasikan hal itu ke perawat, tapi respons yang diterima disebut minim perhatian.
“Alasan perawat saat itu, bengkaknya tangan anak saya, cuma tembem karena plester yang digunakan untuk menutupi perban infusnya terlalu kencang,” ungkapnya.
Karena tidak ada perbaikan, Puskesmas Bolo merujuk Arumi ke RSUD Sondosia pada Minggu (13/4/2025). Dua hari kemudian, Arumi dirujuk ke RSUD Bima karena kondisinya memburuk.
“Saya meminta rujuk paksa ke RSUD Bima karena tangan anak saya sudah sangat bengkak dan terlihat bernanah,” tutur Andika.
Setelah menjalani operasi di RSUD Bima, dokter menyarankan agar Arumi dirujuk ke RSUP NTB untuk penanganan lanjutan. Arumi tiba di Mataram pada Sabtu (19/4/2025) dan langsung mendapat perawatan intensif.
“Sampai saat ini, sebagian jari tangan kanannya sudah tidak aktif dan venanya tidak ada. Saya berharap anak saya kembali normal lagi,” harap Andika.
Kasus dugaan malapraktik ini telah dilaporkan keluarga ke Polres Bima pada Senin (21/4/2025). Laporan tersebut kini tengah ditangani oleh Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter).
“Betul, laporannya ditangani dan sudah ditindaklanjuti oleh Tim Unit Tipidter,” ujar Kasat Reskrim Polres Bima, AKP Abdul Malik, Selasa (22/4/2025).
Kepala Puskesmas Bolo, Nurjanah, mengatakan pihaknya menghargai dan menghormati keputusan keluarga yang melaporkan dugaan malapraktik tersebut ke polisi.
“Kami menaati dan mematuhinya sesuai ketentuan dan prosedur yang berlaku. Kalau dipanggil, kami akan menghadiri untuk memberikan keterangan,” kata Nurjanah, Selasa (22/4/2025).
Nurjanah menyampaikan telah menjenguk Arumi saat masih dirawat di RSUD Sondosia dan menyampaikan empati mendalam kepada keluarga.
“Kami mendoakan agar korban segera diberikan kesembuhan,” tandasnya.
Ketua yayasan pondok pesantren (ponpes) di Gunung Sari, Lombok Barat, Ahmad Faisal (AF), menggunakan berbagai modus untuk mencabuli para santrinya. Diduga, korban pria yang dijuluki ‘Walid Lombok’ itu mencapai puluhan orang. Namun, baru sebagian kecil korban yang melapor ke polisi.
Salah satu modus AF adalah hendak mengusir jin yang ada bersama korban. Kasat Reskrim Polresta Mataram AKP Regi Halili mengatakan AF awalnya mendatangi korban di kamarnya, lalu memegang area sensitif santriwatinya. Saat diketahui oleh korban, AF kemudian berdalih sedang mengusir jin yang berada di atasnya.
Setelah itu, Regi berujar, AF mengajak korban ke salah satu ruangan untuk melakukan perbuatan terlarang tersebut. Modus lain yang dilakukan AF adalah dengan memanfaatkan statusnya sebagai tokoh yang dianggap pemuka agama.
Menurut Regi, sosok AF yang dikenal sebagai Tuan Guru di wilayah tersebut membuat para korban tak kuasa menolak dan melawan.
“Jadi yang bersangkutan merupakan salah satu orang yang ditokohkan disegani oleh santriwati ini. Tentunya sebagai murid atau santriwati akan menurut,” ujarnya.
Regi menjelaskan sejumlah korban mengaku diiming-imingi akan melahirkan anak keturunan yang baik ketika menuruti perintah AF. Polisi sejauh ini masih menggali apakah ada modus lain yang digunakan pelaku.
“Selain itu, ada beberapa korban yang diiming-imingi apabila kamu meminum ludahnya, maka keturunannya akan menjadi penerang. Jadi, beberapa cara yang bersangkutan ini menghasut untuk melakukan pencabulan dan persetubuhan,” bebernya.
Saat ini, polisi masih menunggu adanya korban lain yang melapor sebagai korban. Diduga, korban ‘Walid Lombok’ mencapai puluhan orang.
“Kami juga mengimbau kepada masyarakat atau wali santriwati yang merasa pernah jadi korban kami dengan lapang dada akan menerima laporan tersebut,” tegasnya.
AF mengaku menyesal atas perbuatannya mencabuli dan menyetubuhi sejumlah mantan santriwatinya. Dia menyampaikan permohonan maaf seusai ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Mataram.
“(Sudah) pelecehan santriwati. Persetubuhan badan dan pencabulan. (Jumlah korban) Tidak ingat, sepuluhan orang. (Saya) Menyesal,” kata Faisal di hadapan wartawan di Mapolresta Mataram, Kamis.
Sementara, Faisal mengungkapkan aksi bejatnya dilakukan dengan modus mengajarkan doa atau memberi ijazah doa kepada para korban. Aksi itu berlangsung dalam rentang waktu 2015 hingga 2021.
“Motivasi hanya untuk mengajarkan doa kepada santri-santriwati. Ada yang mengajarkan doa dan mengijazahkan,” ujarnya.
Faisal menyebut tidak memilih-milih korban, dan mengaku tindakannya dilarang oleh ajaran agama. Ia mengeklaim tak semua santri menjadi korban pencabulan.
“Tidak semua (santri). Tidak dipilih pada saatnya kadang-kadang tertuju ke seseorang,” jelasnya.
Faisal juga mengaku menjabat sebagai ketua yayasan saat aksi itu berlangsung. Ia menyampaikan kepada korban bahwa mereka akan mendapatkan jodoh dan keturunan yang baik setelah melayani nafsunya.
“Ketua yayasan pada waktu kejadian. Menjadi titisan wali tidak benar. Secara sederhana kalian (santri) bisa mendapatkan pasangan yang baik. Mendapatkan keturunan yang baik. Itu tentu kekhilafan saya,” ungkapnya.
Dalam pernyataannya, Faisal meminta maaf kepada para korban dan masyarakat.
“Saya pribadi meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada santriwati yang menjadi korban. Otoritas saya akan menanggung segalanya yang telah menghancurkan segala-galanya, menghancurkan keluarga, menghancurkan hati masyarakat sekitar dan masyarakat, itu saja,” pungkasnya.
Dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Faisal terkuak setelah sejumlah alumni santriwatinya melapor ke Polresta Mataram. Mereka mulai buka suara lantaran termotivasi oleh serial ‘Bidaah’, drama Malaysia yang viral di media sosial (medsos).
Para korban menyebut perilaku Faisal mirip dengan tokoh Walid dalam serial tersebut. Faisal diduga melecehkan santriwatinya di lokasi berbeda-beda.
Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat (NTB) resmi menahan pegawai Universitas Mataram (Unram) bernama Semah. Pria berusia 52 tahun itu telah ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga menghamili seorang mahasiswi saat mengikuti kegiatan kuliah kerja nyata (KKN).
“Kami sudah melakukan penahanan terhadap yang bersangkutan selama 20 hari ke depan,” ujar Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujewati di Mataram, Jumat (25/4/2025).
Semah terancam pidana penjara 12 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta. Semah dijerat Pasal 6 huruf C atau Pasal 6 huruf B Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pujewati menjelaskan korban dugaan pelecehan seksual oleh pegawai Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unram itu sebanyak satu orang. Ia menyebut korban telah mendapatkan pendampingan sejak kasus dugaan pelecehan seksual itu dilaporkan ke polisi pada 2024.
Menurut Pujewati, kondisi korban saat ini berangsur membaik setelah mengalami trauma berat akibat perlakuan Semah. Korban pun telah melahirkan setelah dihamili oleh Semah.
“Kami berkoordinasi dengan pendampingnya untuk melakukan pemulihan, termasuk melibatkan orang tuanya,” imbuhnya.
Di sisi lain, Pujewati berujar, Semah masih belum mengakui perbuatannya. Meski begitu, polisi terus melanjutkan proses penyidikan dengan mengacu pada keterangan saksi, ahli, dan petunjuk yang diperoleh penyidik.
“Itu yang meyakinkan kita pada proses penyidikan yang profesional kemudian mengedepankan saintifik,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unram Joko Jumadi mengungkapkan pelecehan seksual terhadap mahasiswi itu terjadi pada 2022. Menurutnya, Semah menjalankan aksinya dengan pura-pura mengobati korban setelah mengalami kesurupan saat KKN.
“Karena dia (korban) mengalami kesurupan pada saat KKN, korban dipulangkan sementara. Waktu dipulangkan ke kosnya, si terduga pelaku membantulah untuk mengobati,” kata Joko di Mataram, Kamis (17/4/2025).
Joko mengungkapkan korban kembali melanjutkan KKN setelah Semah menyatakan kondisi mahasiswi itu telah pulih. Namun, Semah kembali mengalami kesurupan.
“Pelaku datang (lagi) ke kosnya. Dan waktu itu terjadilah kasus kekerasan seksual itu,” jelas Joko.
Joko menuturkan korban tidak langsung melaporkan peristiwa yang dialaminya karena merasa kejadian itu merupakan aib. Dua bulan kemudian, korban baru menyadari dirinya tengah hamil. Mahasiswi itu lalu menghubungi Semah yang berjanji akan bertanggung jawab.
“Setelah kehamilan sampai anaknya lahir, dia (Semah) tidak bertanggung jawab,” tutur Joko.
Menurut Joko, pegawai LPPM Unram itu justru memanfaatkan kondisi korban yang tengah hamil untuk melakukan kekerasan seksual berulang. Kasus dugaan pemerkosaan ini akhirnya terungkap setelah orang tua korban mengetahui anaknya telah melahirkan, sekitar enam bulan setelah bayi lahir.