Ayunan Jantra Banjar Alangkajeng: Tradisi Bermain Anak-Anak di Mengwi, Badung

Posted on

Ayuanan jantra di Banjar Alangkajeng, Desa Mengwi, Badung, merupakan salah satu permainan tradisional yang tak lekang waktu. Keseruan anak-anak bermain ayunan raksasa berbahan kayu itu masih sama seperti puluhan tahun silam. Ayunan ini merupakan permainan tradisional yang istimewa, karena hanya dibuka pada momen-momen tertentu.

Ayunan jantra masih kokoh dengan dua tiang pancang tinggi yang berfungsi menopang delapan dudukan. Ayunan itu sudah berpuluh-puluh tahun usianya.

Momen libur Galungan dan Kuningan selalu dinantikan oleh anak-anak yang ingin mencicipi serunya bermain ayunan. Saking terkenalnya, banyak yang datang dari luar wilayah Badung.

“Senang aja karena dari kecil saya sering ke sini. Memang sengaja main karena seru,” ujar Widya, gadis asal Tabanan yang kini duduk di kelas II SMP.

Bagi dia, bermain ayunan tidak hanya sekadar duduk lalu berputar-putar selama 10 kali, tapi sensasi seru yang didapat dari para tenaga putar yang duduk di antara tiang pancang. Bagi Widya, di sana letak keseruannya.

Awalnya belum banyak anak yang mau mampir. Padahal, wahana itu sudah dibuka sejak pagi. Petugas pun lama duduk, menanti kedatangan bocah-bocah riang hingga pukul 15.00 Wita.

Dua bocah laki-laki bersama ibunya pun datang, meminta agar ayunan dibuka. Awalnya petugas menolak, karena kursi belum terisi penuh. Dua anak itu rela menunggu. Beberapa menit kemudian, datang lagi enam remaja, sehingga kursi terisi penuh. Ayunan pun dimainkan.

Ayunan jantra itu ibarat gula yang mengundang banyak semut. Seketika banyak anak yang menunggu giliran. Mereka langsung membayar tiket Rp 5.000 untuk sekali putaran.

Ada sekitar 20 anak mengantre sejak pukul 16.00 Wita. Ayunan pun diputar tanpa henti. Banyak di antara mereka yang membayar tiga kali agar bisa bermain puas. “Agak deg-degan karena putarannya kencang,” ujar Prapti, salah satu remaja yang ikut naik ayunan.

Campur aduk ekspresi anak-anak tampak saat ayunan diputar. Antara takut bercampur penasaran. Sejumlah anak bersorak, sebagian lagi tertawa saat sanak-saudara mereka menonton dari bawah.

Ayunan Jantra masih memanfaatkan tenaga manusia. Empat pria dewasa berdiri di atas poros atau sumbu pemutar untuk mendorong tiang-tiang ayunan.

Mereka memakai tenaga manual dengan menarik tiang dengan tangan, lalu mendorongnya kembali dengan kaki. Anak-anak cukup membayar Rp 5.000. Mereka bisa berputar 10 kali selama semenit searah jarum jam.

Pergantian putaran mengandalkan tanda bel dari lempeng besi yang dipukul. “Sudah pasti aman karena pakai sabuk pengaman. Memang masih diputar orang, itu istimewanya,” tutur Made Sandra, salah satu petugas ayunan.

Menurut Sandra, ayunan ini sengaja tidak dibuka setiap hari agar eksklusif dan tidak membosankan. Wahana ini hanya bisa dijumpai saat hari Raya Galungan, Kuningan, Ngembak Geni atau sehari setelah Nyepi, serta tahun baru. Sandra bersyukur, masih banyak anak-anak yang gemar mencoba ayunan tradisional ini sehingga masih ada potensi tradisi Bali bertahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *