Sengketa hukum antara Jawa Pos dengan Dahlan Iskan dan Nany Wijaya kembali mencuat ke publik. Pihak Jawa Pos menegaskan bahwa persoalan ini murni terkait penertiban aset perusahaan dan sama sekali tidak berkaitan dengan pengingkaran peran besar Dahlan Iskan dalam sejarah media tersebut.
Hal itu disampaikan Direktur Jawa Pos Holding, Hidayat Jati. Ia menegaskan proses hukum yang berjalan saat ini merupakan bagian dari komitmen perusahaan untuk merapikan aset lama demi kepastian legalitas kepemilikan.
Menurut Hidayat Jati, hampir seluruh permasalahan legal Jawa Pos selama ini memang terkait upaya penertiban aset perusahaan.
“Seperti semua aksi korporasi, direksi harus merapikan pembukuan dan menjaga tata kelola perusahaan, dalam memastikan kejelasan status kepemilikan asetnya,” ujar Jati, dilansir dari infoJatim, Senin (14/7/2025).
Ia menjelaskan, momen penting penertiban dimulai sejak pemerintah memberlakukan program tax amnesty pada 2016. Hasil program itu telah dilaporkan secara resmi dan disahkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Jawa Pos.
“Pada RUPS tersebut, keputusan pemegang saham bulat,” tambahnya.
Sejak itu, lanjut Jati, upaya penertiban dilakukan meski sejumlah aset beririsan dengan kepemilikan pihak lain, termasuk milik Dahlan Iskan.
“Namun, berkat pendekatan yang baik, upaya penertiban di aset-aset Pak Dahlan itu yang prosesnya tadinya rumit, sebagian besar bisa diselesaikan dengan damai dan baik-baik kok,” tegasnya.
Salah satu penyelesaian damai berkaitan dengan kewajiban Dahlan Iskan yang timbul dari investasinya di proyek PLTU Kaltim.
“Jalan keluarnya dengan menjumpakan kewajiban tersebut dengan saham beliau,” jelas Jati.
Hal serupa juga berlaku untuk aset proyek pribadi Dahlan di bidang pengolahan nanas.
“Jadi tidak hanya soal PT Dharma Nyata, tapi menyangkut sejumlah aset dan transaksi di masa lalu, dan sebagian besar berlangsung sesuai prosedur dan kedua belah pihak bisa menemukan kesepemahaman, sehingga tercapai kompromi dengan damai,” tambahnya.
Jalur Hukum untuk Aset yang Belum Selesai
Jati menyebut keputusan menempuh jalur hukum pada beberapa kasus sudah dipertimbangkan dengan matang.
“Sebab, aset Jawa Pos harus diselamatkan dan hukum harus dipatuhi,” tegasnya.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya…
Ia memaparkan banyaknya persoalan aset di Jawa Pos karena di masa lalu, saat dipimpin Dahlan Iskan, perusahaan kerap menggunakan praktik nominee, yakni menitipkan aset atau saham atas nama direksi.
“Banyaknya persoalan aset di Jawa Pos terjadi karena di masa lalu, saat Jawa Pos di era kepemimpinan Dahlan Iskan, banyak menggunakan praktek nominee, menitipkan aset/saham pada nama direksi,” jelasnya.
Praktik itu dilakukan karena industri media di era Soeharto mewajibkan SIUPP hanya bisa diterbitkan atas nama pribadi. Sayangnya, kebiasaan tersebut masih berlanjut meski aturan sudah dicabut.
Sejak pendiri Jawa Pos, Eric Samola, wafat pada akhir 2000, upaya penertiban mulai digencarkan.
“Pada awal 2001, pemegang saham mayoritas Jawa Pos sudah mendorong adanya upaya balik nama,” sebut Jati.
Namun, banyaknya aset di berbagai lokasi membuat proses berjalan lambat.
“Ada yang bisa diselesaikan dengan kesepakatan, tapi ada yang tersisa dan bahkan jadi sengketa hukum,” tambahnya.
Terkait aset atas nama Dahlan Iskan, Jati menyebut nilainya cukup signifikan.
“Kewajiban Pak Dahlan Iskan pada Jawa Pos itu sangat materil jumlahnya. Tapi setelah ada pendekatan, semua sepakat dikompensasikan dengan saham beliau. Inilah mengapa saham Pak Dahlan Iskan sejumlah 3,8 persen di Jawa Pos,” terangnya.
Adapun soal sengketa PT Dharma Nyata, Jati menegaskan seluruh mantan direksi Jawa Pos mengetahui status aset tersebut.
“Semua mantan direksi Jawa Pos tahu betul bahwa aset itu bukan punya mereka dan ada upaya Jawa Pos untuk dilakukan balik nama sejak 2001. Banyak sekali bukti-bukti yang valid tentang ini,” tegasnya.
Bahkan, PT Dharma Nyata rutin membagikan dividen ke Jawa Pos hingga 2017.
“Tapi, sejak 2017 tiba-tiba stop, itu sejak NW (Nany Wijaya, red) dicopot dari holding. Makanya, aset PT Dharma Nyata harus Jawa Pos selamatkan,” tandasnya.
Meski begitu, Jati menegaskan pihaknya tetap membuka ruang dialog.
“Kami selalu terbuka untuk itu, karena kami sadar, jika tidak paham betul atas duduk perkara hukum yang ada, akan mudah muncul salah persepsi,” pungkasnya.