Ahli seismologi di Direktorat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Pepen Supendi mengungkap adanya potensi gempa megathrust di wilayah laut selatan Pulau Bali, NTB, hingga NTT. Kekuatan gempa pada zona subduksi tersebut bisa mencapai magnitudo (M) 8,5.
“Di selatan Lombok dan Bali itu ada segmen Sumba bagian dari megathrust selatan Nusra, Bali dan Jawa ya. Pusat studi gempa nasional memprediksi bisa terjadi gempa mencapai magnitudo 8,5,” kata Pepen saat berkunjung ke Mataram, Selasa (26/8/2025).
Menurut dia, zona megathrust selatan Bali dan Lombok ini memiliki bagian segmen yang sudah lama terkunci dan terpantau dalam seismograf. Segmen ini bisa menimbulkan terjadi gempa besar.
“Ada dua hal terdapat di lempeng ini. Ada lepasan sehingga sering terjadi gempa kecil atau bisa jadi sedang menyusun energi suatu waktu bisa terlepas sehingga terjadi gempa besar,” katanya.
Maka dari itu, masyarakat yang berada di wilayah pesisir selatan harus mulai a ware dengan gempa besar. Dari analisis BMKG, wilayah tersebut sering melepaskan gempa skala kecil.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
“Jadi kita harus ada kesiapan untuk hadapi gempa besar. Bukan untuk menakuti tapi untuk kesiapsiagaan,” ujarnya.
Berkaca pada gempa yang terjadi pada 19 Agustus 1977. Gempa tersebut merupakan gempa bumi outer rise terbesar yang pernah tercatat di Indonesia, gempa susulan meluas sekitar 130 kilometer (81 mil) ke arah timur dan 110 kilometer (68 mil) ke arah barat dari pusat gempa yang menimbulkan tsunami di Lombok-Sumbawa. Gempa yang terjadi 48 tahun silam itu tercatat berada di luar zona subduksi lempeng selatan Bali dan Lombok.
“Kita sebut sebagai outer rise atau gempa bumi yang terjadi di bagian luar zona penunjaman (subduksi). Jadi sesarnya turun yang juga berpotensi menimbulkan tsunami tahun 1977. Nah itu yang menjadi perhatian. Jadi itu bukan megathrust yang terbentang di selatan Bali Lombok sampai Flores,” katanya.
Adapun karakteristik megathrust di wilayah selatan Bali dan Lombok itu bisa menimbulkan gempa besar dan tsunami mencapai 26 meter.
“Jadi ini pemodelan dan skenario terburuk. Makanya, ketika terjadi gempa lebih kecil dan besar kita lebih siap. Jadi skenario terburuk dibuat itu untuk mendetailkan kesiapan kita,” kata Pepen.
Menurut Pepen, para ahli gempa juga sudah melakukan list jumlah gempa-gempa kecil yang terjadi di wilayah megathrust Bali dan Lombok. Dari hasil analisa itu, masyarakat yang menetap di wilayah selatan harus lebih siap menghadapi gempa besar.
“Kita bukan lagi bicara kapan terjadi gempa tapi kita berhadapan dengan sumber gempa besar. Maka perlu memetakan jalur evakuasi ke mana, titik kumpul di mana. Perlu disiapkan mitigasi gempa dari rumah, artinya kesiapsiagaan mesti ditingkatkan,” ucap Pepen.
Menurut dia, berdasarkan hasil periodesasi, belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan waktu dan lokasi terjadinya gempa. Meski begitu, BMKG hanya bisa memetakan zona gempa.
“Sederhana bisa dilakukan masyarakat, secara umum gempa tidak membunuh secara langsung. Jadi salah satu mitigasi struktural bangunan tahan gempa, kita meminimalisasi dampak dari struktur bangunan,” tandasnya.
Adita Irawati, Tenaga Ahli Pertama Kantor Komunikasi Kepresidenan mengatakan Indonesia punya risiko bencana tinggi. Untuk menghadapi itu Presiden Prabowo Subianto meminta semua elemen bisa bersinergi.
“Sesuai arahan Presiden sebelum bencana terjadi maupun pascabencana harus siap,” ujarnya.
Irawati menegaskan BNPB telah menyiapkan kelembagaan forum komunikasi risiko kebencanaan di masing-masing wilayah terutama di NTB.
“Jadi ini tujuannya agar masyarakat punya mental menghadapi bencana. Nanti akan ada simulasi itu agar masyarakat jauh lebih paham terkait segala risiko bencana yang mengintai,” tandas Irawati.
