Pernikahan I Wayan Agus Suwartama alias IWAS (22) dengan Ni Luh Nopianti rupanya sudah direncanakan jauh sebelum Agus terjerat kasus pelecehan seksual. Hal ini diungkapkan oleh pengacara Agus, Ainuddin.
“Jadi sebelum Agus ditimpa dengan kasus ini, rencananya memang akan dilangsungkan pernikahan. Sebelumnya ya, jauh sebelumnya. Dia tidak tahu kalau akan ada masalah seperti ini,” ujar Ainuddin kepada infoBali, Senin (14/4/2025).
Agus resmi melepas masa lajang dengan menikahi pujaan hatinya, Ni Luh Nopianti. Pernikahan itu dilangsungkan setelah Hari Raya Nyepi, beberapa waktu lalu.
Namun, momen bahagia itu harus dijalani tanpa kehadiran fisik Agus. Sebab, pria difabel yang tidak memiliki kedua tangan itu sekarang masih menjadi tahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIA Kuripan, Lombok Barat.
Ainuddin menjelaskan sejak awal keluarga kedua mempelai telah menyepakati pernikahan secara adat Bali. Meski proses hukum masih berjalan, pernikahan tetap dilakukan berdasarkan kepercayaan dan adat istiadat yang dipegang teguh.
Dalam pernikahan ini, mempelai pria diwakili oleh keris yang dibungkus kain putih. Keris tersebut diarak dalam upacara adat sebagai simbol kehadiran Agus.
Tradisi ini dikenal sebagai Widiwidana, dan disaksikan langsung oleh keluarga kedua mempelai, pedanda, serta tokoh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).
Upacara adat dimulai dengan Mepamit, yakni permohonan izin dari keluarga mempelai pria kepada keluarga Ni Luh Nopianti. Dalam kondisi Agus yang tidak bisa hadir, kehadirannya digantikan oleh keris putih sebagai simbol kekuatan, kehormatan, dan kesetiaan laki-laki Bali.
Setelah Mepamit, Ni Luh Nopianti diantar ke rumah keluarga Agus untuk melaksanakan prosesi Widiwidana. Upacara ini dipimpin tokoh adat dan berlangsung dalam beberapa tahap.
Meski IWAS tidak hadir secara fisik, pernikahan tetap sah secara adat karena telah mendapatkan persetujuan dari kedua keluarga.
Seluruh prosesi juga dilengkapi dengan dokumen adat, termasuk surat pengesahan dari Banjar atau Desa Adat serta PHDI. Setelah upacara, dokumen-dokumen itu dicatat sebagai bukti legalitas pernikahan adat.
Keluarga besar berharap pria disabilitas itu segera menyusul untuk melengkapi prosesi ngunduh manten, atau penjemputan pengantin wanita, saat situasi memungkinkan.
Dalam filosofi Hindu Bali, pernikahan bukan hanya penyatuan fisik, tetapi juga spiritual. Ikatan Purusa-Pradana (unsur maskulin-feminin) tetap sah meski tanpa kehadiran mempelai pria. Simbolisasi melalui keris putih memperlihatkan bahwa pernikahan ini diakui oleh leluhur dan masyarakat adat.
Ni Luh Nopianti tetap menjalani seluruh rangkaian dengan hati teguh, sebagai bukti kesetiaan dan keyakinannya pada cinta dan ikatan mereka.
“Semoga pernikahan ini menjadi awal kehidupan baru yang penuh berkah, dan sang suami segera kembali untuk merajut kebahagiaan bersama,” pungkas Ainuddin.