Persidangan kasus pelecehan seksual terhadap tiga santriwati di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), diduga diintervensi pondok pesantren (ponpes). Sebab, para korban tidak pernah hadir memberikan kesaksiannya dalam persidangan dengan terdakwa pimpinan ponpes berinisial TQH itu.
Dugaan intervensi dari ponpes di Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, itu diungkapkan Ketua Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB, Joko Jumadi. Mengingat, para korban masih berstatus sebagai santriwati di sana.
“Karena ini kan masih anak-anak ya, saya pikir tidak mungkin anak-anak punya inisiatif untuk tidak mau datang (ke persidangan),” kata Joko kepada infoBali, Jumat (23/5/2025).
Joko awalnya heran karena para korban tidak pernah datang untuk memberikan kesaksian di pengadilan. Padahal, Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Tengah sudah menyampaikan surat undangan kepada mereka.
“Pada saat diantarkan panggilan, mereka bilang akan datang. Tetapi, pada saat hari H mereka kok menghilang. Dari gelagat itu, kami menduga ada intimidasi dan upaya dilakukan pihak ponpes melalui keluarga untuk menghalangi saksi korban untuk bersaksi di pengadilan,” ujar Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram itu.
Joko kini meminta kepolisian untuk mengusut dugaan intervensi itu. Joko menilai pengintervensi dapat dijerat dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Ini sudah minggu ketiga (dan) masuk minggu keempat, mereka bilang akan datang, tetapi tidak pernah datang. Rabu depan ini panggilan terakhir secara baik-baik. Kalau misalkan tidak datang, maka terpaksa kami dari LPA akan melaporkan tindak pidana penghalangan ini,” imbuh Joko.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Lombok Tengah, Sofyan Indra Siswono, membenarkan hal tersebut. “Kami sudah tiga kali memberikan surat panggilan, tetapi sampai panggilan itu tidak hadir,” kata Sofyan saat ditemui di kantornya.
Menurut Sofyan, para saksi tak mau hadir dengan alasan yang berubah-ubah. Kejari Lombok Tengah pun sempat melakukan komunikasi melalui penasihat hukum korban untuk meminta kehadirannya di pengadilan.
“Penasihat hukumnya ini pas hari H datang ke rumah korban, tetapi tidak ada orang yang ditemui. Nah itu, kami nggak tahu apakah memang ada kesibukan atau tiba-tiba menghilang dari rumah atau memang juga ada pihak-pihak yang menghalangi untuk datang ke persidangan,” imbuh Sofyan.
Kejari Lombok Tengah, jelas Sofyan, sejak awal memang sudah mendengar adanya intervensi dari orang luar pada kasus pelecehan terhadap tiga santriwati ini. Intervensi bahkan diduga sudah terjadi sejak tahap penyelidikan oleh kepolisian.
“Kalau dari cerita dari penyidik di kepolisian itu, memang sudah ada dari awal yang intervensi dari keluarga dan juga pondok pesantren yang terkesan melindungi pelaku,” beber Sofyan.
Sofyan berharap para korban ini untuk bersikap kooperatif. Terlebih, kasus ini merupakan perkara tindak pidana kekerasan seksual yang tak bisa menempuh jalur perdamaian.
“Makanya kami harapkan para saksi ini hadir di persidangan agar bisa terungkap seterang-terangnya,” jelas Sofyan.
Diberitakan sebelumnya, Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Lombok Tengah, NTB, menangkap pimpinan pondok pesantren (ponpes) berinisial TQH atas dugaan kekerasan seksual terhadap tiga santriwatinya. Satu santriwati telah disetubuhi TQH dan dua lainnya dicabuli.
“Iya, terduga pelaku sudah ditetapkan jadi tersangka,” kata Kepala Seksi Hubungan Masyarakat (Kasi Humas) Polres Lombok Tengah, Iptu Lalu Brata Kusnadi, kepada infoBali, Senin (13/1/2025).